Minggu, 13 April 2008

Komunis , Apa Kata Dunia

Pemerintah dan Rakyat Harus
Waspadai Bahaya Laten Komunis


Sabtu, 29 April 2006
JAKARTA (Suara Karya): Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (AD) meminta pemerintah dan rakyat Indonesia agar tidak lengah pada bahaya laten komunis. Hal ini tetap diingatkan meski perang dingin negara-negara komunis dunia telah rontok.
Ketua Umum Persatuan Purnawirawan TNI AD Letjen (Purn) Soerjadi, di Jakarta, Kamis (27/4), mengatakan, ideologi komunis di Indonesia tidak pernah mati, terlebih lagi kondisi kehidupan bangsa masih diliputi kemiskinan dan kesenjangan sosial.
"Sekalipun Partai Komunis Indonesia (PKI) telah dibubarkan dan dilarang keberadaannya, namun di era reformasi ini justru memberi peluang munculnya multiideologi. Kendati secara organisasi PKI sudah tidak ada, namun secara ideologi tidak pernah hilang," katanya.
Soerjadi menyodorkan beberapa bukti yang mendukung argumentasinya bahwa ideologi komunis di Indonesia tidak pernah hilang.
Contonhnya beberapa waktu lalu sempat terpampang simbol PKI (palu arit) di Istana Bogor serta adanya berbagai gerakan elemen komunisme bawah tanah melalui kelompok-kelompok diskusi yang dapat ditelusuri mulai 1978, 1982, 1994, dan hingga saat ini di sejumlah kota.
Ia mengatakan, pemerintah harus menyadari adanya kekuatan-kekuatan komunis ini. Untuk itu, pihaknya mendesak pemerintah agar bertindak tegas dengan menggunakan payung hukum yang ada.
Terkait dengan upaya rekonsiliasi nasional, ia mengatakan, persoalan rehabilitasi dan konsolidasi tersebut perlu didukung dengan satu syarat, yakni kompensasi yang dituntut keluarga eks PKI dan keturunannya tersebut tidak harus dipenuhi. Pemerintah dan rakyat Indonesia juga harus berpegang teguh pada Pancasila dan tidak mengakui adanya faham-faham lainnya.
Sependapat dengan Soerjadi, Sekretaris Umum Persatuan Purnawirawan TNI AD Mayjen (Purn) Soetojo NK mengatakan, komunisme itu ibarat teh kotak, yang mereknya bisa bermacam-macam tapi isinya tetap saja teh. "Di lingkungan global, ideologi ini memang tidak laku. Namun kalau kita amati, ideologi ini ternyata tidak mati," katanya.
Dalam pandangannya, ideologi komunis tidak akan berkembang jika suatu negara makmur, sistem pemerintahan yang transparan, dan mengedepankan penegakan hukum.
Di Indonesia, sebelum dinyatakan sebagai partai terlarang oleh pemerintahan Soeharto, PKI pernah melakukan dua kali pemberontakan, yakni pada tahun 1948 yang dipimpin oleh Muso dan pada tahun 1965 oleh DN Aidit. (Ant/Andrian)

http://www.suarakarya-online.com
&quotBarat Sangat Takut pada Bung Karno"
Liputan6.com, Jakarta: Seorang sejarawan menyatakan bahwa sejarah adalah sesuatu yang bersifat fleksibel. Bisa diubah sepanjang ada data baru yang memang otentik dan valid. Pendapat inilah yang mungkin melatarbelakangi pembuatan film dokumenter Shadow Play yang membeberkan seputar Tragedi Gerakan 30 September 1965. "Dalam film Shadow Play ini memang banyak hal baru yang belum pernah diketahui umum sebelumnya. Misalnya semacam dokumen-dokumen Barat yang sebelumnya disimpan secara rapi atau rahasia. Tapi kebijakan mereka (Barat) setelah beberapa tahun [dokumen itu] bisa dibuka. Nah, ini bagi pembuatan film dokumenter bisa diakses," ucap Lexi Rambadate, asisten produser film dokumenter itu saat berdialog dengan Ira Koesno di Studio Liputan 6 SCTV, Jakarta, Selasa (30/9) siang.

Menanggapi silang pendapat seputar Shadow Play, Lexi mengatakan, film dokumenter ini menyajikan sejumlah fakta yang ada [baca: Kebenaran Shadow Play Dipertanyakan]. Menurut Lexi, proses pembuatan film dokumenter itu juga melalui riset. Termasuk merekam sejumlah narasumber yang dianggap valid. "Tak ada rekayasa di situ," ujar Lexi. Apalagi, setiap orang bisa merekam dan mengumpulkan bukti-bukti atau data-data apa saja. Antara lain kekerasan terhadap buruh, orang kecil hingga pejabat. Kemudian, data-data itu dapat dikumpulkan dan dipresentasikan dalam sebuah film dokumenter.

Kendati demikian, Lexi mengakui suatu film dokumenter memang tak bisa lengkap menggambarkan peristiwa sebenarnya. "Apa yang kita lakukan dalam kurun waktu beberapa tahun mengenai peristiwa 1965, memang sangat rumit dan belum jelas. Kita bisa segitu. Mungkin ada pihak yang lain punya, bisa kita gabungkan," kata Lexi.

Lebih jauh Lexi menguraikan, Shadow Play menggambarkan bagaimana sebuah kejadian atau tragedi bisa diputarbalikkan dalam media massa, film, dan media sejenisnya [baca: Shadow Play Menguak Sisi Lain Tragedi G30S/PKI]. Meski begitu Lexi maklum jika ada yang menilai film itu berat sebelah. Namun, Lexi menegaskan krunya berusaha menghubungi berbagai pihak untuk diwawancarai. Termasuk menghubungi Presiden Megawati Sukarnoputri yang notabene putri sulung Bung Karno. "Kita coba mewancarai Megawati. Selama tiga bulan menghubungi, sepertinya sibuk sekali untuk wawancara," Lexi mengungkapkan.

Menurut Lexi, gambaran yang ditampilkan Shadow Play bukan hanya kekejaman mengenai Peristiwa G30S. Lebih luas lagi adalah membeberkan peta kekuatan dunia saat era Perang Dingin. Saat itu, pihak Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris memang meminta para jurnalis mendukung kebijakan Perang Dingin. Jelasnya, segala pemberitaan pro-Barat harus diangkat, sedangkan pemberitaan yang menyudutkan blok Komunis harus ditonjolkan. Seiring dengan itu, menurut Lexi, pihak Barat menganggap Indonesia lebih condong ke blok Timur. "Soekarno saat itu marah besar. [Sedangkan] Barat sangat takut sama Bung Karno," kata Lexi.

Bahkan, menurut Lexi, Inggris mengutus seorang ahli propaganda bernama Norman Rodway ke Indonesia. Dia diperintahkan membuat apa saja agar Bung Karno jatuh. "Sehingga citra Soekarno jatuh. Misalnya Soekarno digambarkan sebagai perayu [ulung] wanita," kata Lexi.

Mengakhiri dialog, Lexi mengaku pihaknya sempat mendapat ancaman. Kejadian itu terjadi saat pemutaran film Shadow Play bagi kalangan wartawan di sebuah toko buku di Jakarta Selatan, Senin malam silam. "Ada tiga orang datang dan mengaku sebagai aparat keamanan. Seorang memakai seragam," Lexi mengungkap. Sayangnya, Lexi tak merinci bentuk ancaman tersebut.

Pagi tadi, dialog mengenai G30S/Partai Komunis Indonesia digelar di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat. Dalam kesempatan ini, sejumlah tokoh Islam mengingatkan kembali akan munculnya bahaya laten komunis. Mereka mensinyalir gerakan komunis berkembang lagi. Gerakan komunis ini mengincar kalangan kampus dan anak-anak muda yang cerdas. Beberapa tokoh Islam yang hadir, di antaranya Husni Thamrin dan Husin Umar. Keduanya meminta masyarakat mewaspadai bahaya laten komunis. Alasannya, gerakan komunis dapat memanfaatkan tingginya tingkat penggangguran. "Mereka menyusup ke mana-mana," kata Husin.(ANS/Tim Liputan 6 SCTV)

http://www.liputan6.com

Sinyalemen Hidupkan Kembali Komunisme Bukan Isapan Jempol
Kapanlagi.com - Sinyalemen yang menyebutkan adanya upaya-upaya untuk kembali menghidupkan paham komunisme di Indonesia bukan isapan jempol atau sekedar isu kosong semata, karenanya pemerintah dan segenap komponen bangsa perlu mengambil langkah-langkah antisipatif untuk mencegahnya.

"Kiranya semua kita sepakat itu bukan isapan jempol semata, karenanya langkah-langkah antisipatif perlu dilakukan," ujar Asisten Intelijen Kasdam I/Bukit Barisan, Kolonel (Inf) Arminson, ketika berbicara pada "Seminar Bahaya Komunis" yang digelar Komisi A DPRD sumatera Utara, di Medan, Kamis (24/08).

Sementara itu, menurut dia, modus perjuangan komunisme di Indonesia hingga saat ini tidak pernah bergeser, yakni selalu memanfaatkan isu kemiskinan, ketidakadilan di bidang sosial, ekonomi dan hukum, serta berupaya mendiskreditkan kelompok atau institusi yang dianggap menghambat atau mengancam perjuangannya.

Komunis merupakan sebuah ideologi yang senantiasa menyebarluaskan kebohongan untuk mencapai tujuannya, menghalalkan segala cara dan merupakan pelaku berbagai tindakan kekejaman di masa lalu.

Langkah-langkah antisipatif yang dimaksud antara lain konsistensi pemerintah dalam memperjuangkan peningkatan pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan rasa keadilan masyarakat guna mencegah upaya penggalangan dari kelompok komunis yang selalu memanfaatkan isu keterbelakangan, kemiskinan dan ketidakadilan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Ditekankannya, bahaya laten komunis dengan segala tipu muslihat, kebohongan serta kekejamannya bukan semata musuh TNI, tetapi musuh seluruh bangsa Indonesia dan semua pihak harus mencegah setiap upaya pihak manapun yang ingin mencabut TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 yang menetapkan PKI sebagai partai terlarang di Indonesia.

Langkah antisipatis lainnya adalah dengan membangkitkan kesadaran masyarakat untuk mencegah hidupnya kembali komunis melalui sarana diskusi, seminar, penyuluhan, ceramah, kemudian mewaspadai upaya penyusupan ideologi tersebut ke tubuh berbagai komponen bangsa baik pemerintah, TNI/Polri, ormas maupun komponen bangsa lainnya.

"Langkah berikutnya adalah mencantumkan kembali materi pelajaran tentang bahaya laten komunis di semua lembaga pendidikan, sementara masyarakat luas harus ikut serta mewaspadai, memantau serta melaporkan kepada pihak berwajib jika melihat adanya kegiatan berkaitan dengan penyebaran ajaran atau paham komunis," katanya.

Lebih jauh disebutkannya, era reformasi dan keterbukaan dewasa ini bahkan telah dimanfaatkan kelompok/kalangan komunis untuk bangkit kembali. Beberapa indikasi ke arah itu antara lain dapat disimak dari pernyataan salah seorang generasi muda keturunan PKI pada 17 April 1996, bahwa "Partai sudah berdiri, 31 tahun terkubur, dibantai, dihina, dibunuh, dilarang, diawasi, dikhianati, sekarang dibangun lagi".

Kemudian juga dapat dilihat dari bermunculannya berbagai macam organisasi massa baik oleh generasi tua maupun generasi muda keturunan PKI dengan berbagai cover, antara lain untuk memperjuangkan hak asasi manusia.

Indikasi lainnya adalah pelaksanaan Temu Raya eks Tapol/Napol G30S PKI di Jakarta, 15-17 Februari 2002, yang bertujuan membentuk suatu organisasi besar yang solid guna membantu partai sebagai wadah aspirasi para eks Tapol/Napol PKI dan keluarganya.

"Kita juga bisa melihat peluncuran buku 'Aku Bangga Menjadi Anak PKI' yang menggambarkan keinginan untuk memberi contoh kepada keturunan Tapol/Napol PKI agar menyebarkan kembali paham komunis dan mengembangkan sikap tidak percaya kepada pemerintah," ujar Arminson.

Ia juga menunjuk pembuatan film SHADOW PLAY, yakni sebuah film "pelurusan sejarah" menurut opini dan versi komunis terkait peristiwa G30S PKI. Di film itu disebut G30S PKI adalah konspirasi yang didalangi Soeharto dan TNI AD, sementara PKI hanya kambing hitam.

Kemudian Kongres Nasional II, 3-5 Maret 2004 di Cianjur yang bertema "Partai Komunis Tidak Pernah Mati" sebagai indikasi lain adanya upaya-upaya untuk kembali menghidupkan paham komunis di tanah air.

"Kita juga tidak boleh lengah, karena saat ini juga tengah ada upaya membuat jaringan nasional dan internasional dengan gerakan-gerakan terselubung dalam berbagai bentuk untuk menggalang kader PKI di seluruh Indonesia dan menyusup ke kalangan generasi muda, mahasiswa dan pelajar dengan menggunakan jaringan baru komunis di Indonesia," katanya. (*/lpk)

http://www.kapanlagi.com

Kodam IV/Diponegoro Miliki
Kesamaan dengan Perjuangan Angkatan 66

Semarang, Pelita
Pangdam IV/Diponegoro Mayjen TNI Darpito Pudyastungkoro, SIP, MM menyatakan bahwa Kodam IV/Diponegoro mempunyai kesamaan dalam perjuangannya dengan Angkatan 66, yaitu sebagai kekuatan moral, dalam mempertahankan NKRI, Pancasila, dan UUD 1945.
Untuk itu pada masa kini dan ke depan, kebersamaan dan kemitraan yang layak dikembangkan antara TNI dengan anggota Angkatan 66 adalah bagaimana mewaspadai munculnya aliran yang beraspirasi memecah-belah bangsa dan negara di tengah dinamika dan euforia reformasi ini, jelas Pangdam saat menerima audiensi Pengurus Wilayah Dewan Nasional 66 (PW DN 66) Provinsi Jateng, di ruang kerjanya, di Makodam IV/Diponegoro Watugong Semarang, akhir pekan lalu; tulis Dispenad mengutip Pendam IV/Diponegoro.
Kunjungan PW DN 66 ini dipimpin ketuanya Drs Anton H Sunarto bersama Pengurus DN 66, dengan tujuan selain bersilaturahmi dengan Pangdam yang baru, juga menyampaikan rencana mengadakan sarasehan dan ziarah ke makam Letjen TNI (Purn) Sarwo Edhi Wibowo di Purworejo.
Lebih lanjut Pangdam menjelaskan bahwa untuk mewujudkan tugas pokok Kodam IV/Diponegoro yaitu menegakkan kedaulatan negara dan mempertahankan keutuhan wilayah darat di Jateng dan DI Yogyakarta, maka Kodam IV/Diponegoro harus menghadirkan dirinya secara terpadu sebagai kekuatan pertahanan negara yang militan sekaligus sebagai kekuatan moral dan kekuatan kultural bangsa yang berjatidiri Pancasila.
Sebagai kekuatan moral, menurut Pangdam, Kodam IV/Diponegoro dalam setiap sikap, perilaku, dan tindakannya senantiasa memiliki komitmen yang kuat untuk berbhakti hanya kepada bangsa dan negaranya. Sebagai kekuatan kultural, Kodam IV/Diponegoro senantiasa memegang nilai-nilai luhur budaya bangsa, yaitu gotong royong, kebersamaan, kesetiakawanan sosial, dan kekeluargaan, sehingga akan membentuk kekuatan sinergi antara TNI dan rakyat, yang ketangguhannya sudah teruji dan tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa ini.
Sedangkan sebagai kekuatan pertahanan negara, TNI Angkatan Darat menghadirkan dirinya sebagai Bhayangkari negara yang memiliki militansi yang kuat, memiliki moralitas yang tinggi, rela berkorban dan tidak mengenal menyerah dan senantiasa bersama-sama dengan rakyat. Dengan ketiga kekuatan tersebut, diharapkan akan menghadirkan sosok prajurit yang memiliki komitmen kuat untuk kemajuan bangsa dan negaranya, serta senantiasa diteladani oleh lingkungannya dalam aspek sikap dan perilaku serta tindakan-tindakannya, jelas Pangdam.
Menanggapi PW DN 66 tentang bahaya laten komunis, Pangdam menyatakan bahwa bagi komunis walaupun organisasinya sudah tidak ada tetapi paham atau ideologi tetap terus dipertahankan. Untuk itu, Panglima mengingatkan agar kita semua waspada terhadap bahaya laten komunis, karena PKI telah dan terus berusaha mengkomuniskan negara ini dengan cara-cara tidak berkemanusiaan dan jelas-jelas bertentangan dengan dasar negara Pancasila. Oleh karenanya, Panglima mengharapkan untuk merapatkan barisan dan bergandengan tangan, bersatu-padu, bergotong-royong untuk menutup semua celah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi kemungkinan bangkitnya komunisme di negara Indonesia.(be)

http://www.pelita.or.id

Riri Riza: Saya Dulu Makan Nasi Golkar

Riri Riza (Dok. Miles Films)SYUTING film Gie, bagi sutradara Riri Riza, 35 tahun, adalah setumpuk pelajaran tersendiri. Banyak kejadian unik melekat di benaknya. Salah satu adalah pengambilan gambar terakhir yang dilakukannya di Semarang. Adegannya: suasana kampanye Partai Komunis Indonesia yang gegap gempita. Syuting dikerjakan pagi-pagi sekali di sebuah ruas jalan.

Awalnya, Riri kesulitan memotivasi ratusan figuran. Pasalnya, mereka harus berteriak dengan lantang dan bersemangat menyerukan; "Hidup PKI! Hidup PKI!" di tengah-tengah segala atribut merah PKI. Di depan kamera semua figuran saling tatap sebelum berani berteriak. Hasilnya pun tak memuaskan Riri. Emosi yang diinginkannya tak kunjung muncul.

Dengan mikrofon, Riri pun mengajak mereka berteriak penuh semangat. Lama-lama, ledakan emosi para figuran muncul. Tapi apa yang terjadi? meski Riri telah meneriakkan "Cut!", ratusan orang itu masih terus asyik berteriak "Hidup PKI! Hidup PKI!". Giliran Riri yang panik. Ia tengok kiri-kanan, mengambil pengeras suara, lalu mondar-mandir sambil berteriak, "Stop!, Stop!"

Kepada Gatra, Riri Reza menceritakan kejadian itu dengan penuh semangat. Bagi alumnus Royal Halloway University, London, untuk penulisan skenario ini, Gie memang sebuah lompatan. Lewat percakapan dengan wartawan Gatra Krisnadi Yuliawan, Bambang Sulistiyo, dan Imam Sukamto (fotografer), ia menuturkan perspektifnya mengenai Gie. Berikut petikannya:

Benarkah lewat Gie Anda sebenarnya menyampaikan sebuah sikap politik?
Sesudah premiere Gie di Plaza Senayan, saya ngobrol dengan Budiman Sujatmiko. Dia bilang cara saya menangkap kenaifan Gie menarik. Maksud Budiman, sosok Gie yang muncul tampak tidak terlalu mengerti bagaimana cara berpolitik. Saya bilang, kalau Gie mengerti betul bagaimana cara berpolitik maka dia tidak akan menjadi Soe Hok Gie.

Politik bagi Gie adalah politik dengan "P" besar untuk kemanusiaan, bukan untuk kepentingan golongan. Dalam Gie ada statemen: "bahwa sampai hari ini, setelah 32 tahun, kehidupan demokrasi yang bebas dari kepentingan ras, agama, dan partai, belum tercapai". Itu impian Gie.

Sejak awal, Anda memang beniat menyampaikan statemen politik itu?
Saya tidak terlalu berpikir begitu. Saya cuma mau cerita. Namun dalam proses bergelut dengan tokoh ini, saya mendapat dorongan untuk itu, karena saya juga punya concern. Tahun 1999, saya membuat dokumenter tentang seorang ibu yang kehilangan anaknya, seorang aktivis. Saya ikuti ibu itu dengan kamera sampai enam bulan. Saya ikut dia mencari informasi.

Ikut dia bekerja dengan Munir dalam aksi-aksi anti-pelanggaran HAM, bertemu berbagai macam orang di Puspom ABRI dan lain-lain. Saya jadi berpikir, hidup orang yang concern dengan politik itu luar biasa. Orang yang sering dikatakan naif seperti ibu itu, Gie, Wiji Thukul, Munir bukan saja tidak tahu cara menjadi orang besar, juga tidak bermimpi untuk menjadi tokoh besar.

Tidak merasa sedang mengkultuskan sosok Soe Hok Gie?
Mudah-mudahan tidak. Saya percaya, Gie itu bukan hero dalam pengertian punya jasa kongkret. Banyak yang bersaksi bahwa Gie berani berada di garis depan aksi protes, melempar batu, bahkan berbaring di depan panser. Tapi bukan bagian itu yang saya ceritakan, karena bagian itu justru akan membuat Soe Hok Gie sama dengan yang lain.

Lalu Gie seperti apa yang hendak disajikan?
Gie yang senantiasa berkelahi dengan dirinya sendiri. Sisi menarik Soe Hok Gie adalah karena dia bergulat terus-menerus dengan dirinya, bergolak sampai titik yang dia tidak mengerti untuk apa.

Jadi, Anda menafsirkan satu sisi hidup Gie atau hanya merekonstruksinya?
Bisa dibilang fifty-fifty. Intinya saya mau bebas. Kita tidak suka terminologi film seni atau film komersial. Kita menganggap film adalah kombinasi antara seni dan industri. Saya membuat sebuah film dramatik, tetapi juga ada sejarawan seperti Maxwell (John Maxwell, penulis Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani --Red.) menyelia akurasi ceritanya.

Anda merasa punya beban menggarap Gie? Sebab ada pengkisahan yang terkesan Anda tahan-tahan.
Saya percaya betul pada nuansa dan feeling. Saya mencoba menyentuh emosi, mencoba membuat cerita ini jelas. Saya memperkenalkan tokoh dengan baik, namanya harus disebut dengan jelas, motivasi yang melatarbelakangi setiap aksinya harus jelas. Kalau ada kesan saya menahan sesuatu, jangan-jangan memang itu intensi saya untuk menciptakan nuansa atau suasana seperti itu.

Mengapa film ini berbeda dengan film-film Anda sebelumnya?
Karena saya percaya bahwa gaya dan bentuk itu hadir dari cerita. Ada sutradara seperti Woody Allen yang apa pun ceritanya, dari shot pertama kita bisa tahu bahwa itu film dia. Saya kebalikannya, saya lihat dulu ceritanya, baru saya tentukan style film saya.

Apakah sikap politik Gie mempengaruhi Anda dalam menggarap Gie?
Saya bukan seperti Oliver Stone yang punya statemen politik terus-menerus. Meski mungkin ini titik awal menuju ke sana. Saya membuat film dengan menampilkan elemen-elemen baku sebuah film. Saya film-maker, bukan budayawan dengan statemen lantas mencari gagasan mediasi yang tepat. Tapi, menurut saya, sejak 1998, semua orang segenerasi saya memiliki ketertarikan terhadap politik. Saat itu saya tiba-tiba gelisah dan bertanya: apa itu politik?

Jadi apa pemahaman Anda tentang politik?
Ayah saya adalah juru penerang Departemen Penerangan. Saya selalu diajak keluar-masuk kampung memutar film tentang transmigrasi, keluarga berencana, tentang hasil-hasil pemerintahan Soeharto. Lama sekali saya mengalami apa yang disebut "makan nasinya Golkar". Pertama kali ikut pemilu, tahun 1997, ayah saya mewanti-wanti: "Kamu ingat-ingat ya, kita ini makan nasi Golkar."

Sejak 1998, mulai sedikit ada pencerahan tentang pemahaman politik dalam diri saya. Saya membuat film dokumenter tentang aktivis yang diculik; saya bicara dengan Budiman Sujatmiko, Faisal Reza, Pius Lustrilanang, dan saya bicara dengan semua anggota keluarga dari 13 aktivis yang diculik, saya juga ikut sidangnya, saya ikut bicara dengan Danpuspom saat itu.

Pemahaman itu ditonjolkan dalam Gie?
Dalam Gie ada bagian-bagian yang menunjukkan bahwa Soe Hok Gie menganggap bahwa segala sesuatu harus ditujukan untuk kepentingan masyarakat dan kemanusiaan; bukan untuk satu golongan, kelompok masyarakat tertentu, atau bahkan faksi politik tertentu.

Apakah sempat ragu, membuat Gie yang genre-nya berbeda?
Lucu banget kalau sampai ada keraguan. Kalau ragu, kita tidak akan bertahan tiga tahun lebih untuk membuat film ini, dan tidak mungkin ada investor yang mau mendanai. Ini film berbiaya terbesar sepanjang sejarah produksi Miles: sekitar Rp 7 milyar. Dua dari empat investor utama kita sudah nonton dan mereka mengaku cukup bangga dengan pencapaian film ini.

Ada persoalan dengan Lembaga Sensor Film?
Awalnya saya sempat deg-degan karena memang masih ada klausul; bahwa tidak boleh membenarkan simbol-simbol marxis. Argumentasi kita adalah; kita tidak membenarkan, hanya memperlihatkan kenyataan, mulai rekruitmen Pemuda Rakyat, Komite Sentral PKI, lagu Genjer-Genjer, dan lainnya. Ternyata, yang jadi concern LSF adalah adegan ciuman.

Di masa depan, rencananya mau bikin film apa lagi?
Saya sebetulnya tertarik sekali pada beberapa karya sastra. Dari dulu saya punya mimpi untuk memfilmkan karya Mochtar Lubis, Harimau-Harimau. Lubis sangat pro pada persoalan lingkungan dan saya juga begitu. Novel itu memiliki statemen yang luar biasa tentang lingkungan hidup dan tentang pergolakan manusia; tentang harimau dalam diri manusia.

Saya juga selalu tertarik membaca tentang korban-korban yang dituduh komunis yang "diambil" tanpa diadili. Saya tertarik pada karya Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Tapi, saya juga kepingin membuat film anak-anak lagi. Kasihan anak-anak kita tak punya sesuatu untuk ditonton.

Budiman Sujatmiko:

Rekonsiliasi Itu Amanat Konstitusi

BUDIMAN Sujatmiko dikenal sebagai pendiri Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dianggap sebagai dalang di balik Peristiwa 27 Juli 1996. Pria kelahiran Desa Pahonjean, Majenang, Cilacap, pada 10 Maret 1970 ini kini bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Sebagai sosok yang dipenjara oleh rezim Orde Baru, peraih Master Ekonomi-Politik dari School of Oriental and African Studies, Universitas London, Inggris ini relevan jika harus membahas persoalan rekonsiliasi di negeri ini. Apa komentar dia tentang Soeharto? Apa saran-saran pria yang juga meraih master Hubungan Internasional dari Cambridge University ini terhadap bangsanya? Berikut petikan perbincangan dengan dia di sebuah kafe di RS Pondok Indah, Jakarta Selatan, belum lama ini.

Reformasi sudah berumur sewindu. Apakah di negeri ini masih diperlukan rekonsiliasi?

Perlu, karena masih banyak permasalahan yang menyangkut HAM dan keadilan di negeri ini yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Memang sudah ada upaya untuk itu. Namun sampai saat ini Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) kan belum juga dibentuk oleh pemerintah. Agaknya pemerintah kita tidak menganggap bahwa penyelesaian persoalan-persoalan masa lalu itu sebagai sebuah prioritas.

Mengapa demikian?

Ada semacam 'hitung-hitungan' dari pemerintah ketika hal itu dibuka dan segera diselesaikan, justru akan lebih banyak menimbulkan berbagai persoalan. Masalahnya adalah pihak yang pada masa lalu terlibat konflik, atau terlibat dalam pelanggaran HAM, sampai saat ini belum bisa menerima fakta proses ini harus segera dimulai.

Jadi, bisa saya katakan, pihak-pihak yang dulu posisinya sebagai "penguasa" pada masa lalu yang paling keberatan dengan pengungkapan kebenaran tersebut.

Soal kejahatan kemanusiaan yang katanya sebagai policy negara, dan itu juga akan meruntuhkan begitu banyak versi sejarah Orde baru yang selama ini ada.

Itu dampak moril dan psikologisnya. Belum lagi dampak materiilnya. Begitu banyak orang-orang yang dikorbankan pada masa lalu, sehingga hak perdata mereka dicabut, seperti dipecat dari pekerjaan, karier keluarga dihambat dan sebagainya.

Kalau ini dibuka kembali, maka akan ada tuntutan untuk membayar kompensasi bagi mereka. Ini yang ditakuti pemerintah, karena tentu akan lebih membebani pekerjaan dan keuangan mereka. Terlebih lagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah orang yang ingin menjadi safe player terus-menerus. Dia bukan orang yang bertipe risk taker, orang yang berani mengambil risiko untuk sebuah perubahan demi kemajuan bangsanya.

Menurut saya lebih baik seorang pemimpin berani ambil keputusan yang buruk daripada tidak pernah mengambil keputusan. Makanya, banyak juga yang khawatir, jangan-jangan Presiden tertekan atau tergadai oleh kepentingan-kepentingan kelompok yang terancam oleh keberadaan KKR.

Dengan kondisi seperti ini, bagaimana rekonsiliasi yang digagas oleh masyarakat?

Pernah ada, seperti yang dilakukan di grass root, yaitu antara NU melalui Santri Untuk Advokasi Rakyat (Sarikat) dan eks-PKI. Ketika itu dilakukan, eh malah ada gangguan. Saat mereka bertemu malah dibubarkan oleh Pemuda Panca Marga dan elemen antikomunis lain yang tumbuh subur saat Orde Baru.

Jadi, menurut pendapat saya ini sangat ironis bila berkaitan dengan kasus Soeharto. Wong belum apa-apa, kok sudah ada wacana untuk memaafkan Soeharto. Padahal wacana agar Soeharto dimaafkan itu muncul sebelum pihak keluarga belum menyatakan minta maaf.

Afrika Selatan pernah melakukan rekonsiliasi dan berhasil. Mengapa kita tidak meniru negara itu?

Memang rekonsiliasi nasional yang paling berhasil adalah Afrika Selatan. Selalu saja Afrika Selatan dijadikan contoh ideal. Namun yang perlu diingat adalah ada syarat khusus yang dimiliki Afrika Selatan, dan itu tidak dipunyai oleh Indonesia saat ini.

Nelson Mandela sebagai sang pelopor mempunyai atribut atau dua hal yang membuat dia mempunyai otoritas dalam sebuah rekonsiliasi. Pertama, dia adalah seorang korban policy apartheid, sehingga dia mempunyai otoritas moral untuk memberikan maaf. Adapun syarat kedua dia adalah seorang presiden yang mempunyai otoritas politik untuk menjalankan policy itu. Terlebih lagi dia figur yang sangat karismatik sehingga langsung mendapatkan dukungan penuh rakyat yang sebagian besar berkulit hitam yang juga senasib dengannya.

Nah sekarang di Indonesia, apakah presidennya adalah korban dari masa lalu? Kan dia tidak pernah menjadi korban policy pemerintah pada masa lalu. Jadi kalaupun dia mau memberi maaf, dia tidak punya otoritas moral untuk itu. Kalau ada pertanyaan bukankah Presiden Megawati pernah dalam posisi sebagai korban, mengapa dia tidak berbuat banyak untuk itu? Saya jawab, soal KKR kan diajukan saat Megawati menjabat. Sayang terjadi proses yang berlarut-larut sehingga belum tuntas saat jabatannya berakhir. Lalu diganti pemerintahan yang baru, dan nasibnya juga sama, belum tuntas.

Makanya saya perlu mengatakan, sekaranglah saatnya pemerintah mengajak ngomong para korban. Pemerintah harus mendengar semua dari mereka. Jangan malah terbalik seperti saat menangani kasus Soeharto. Masa kita begitu gigih membicarakan tentang kemanusiaan seorang Soeharto, lalu mengabaikan kemanusiaan jutaan orang termasuk keluarganya di luar sana.

Ada kekhawatiran pembentukan KKR untuk menghapus dosa-dosa lama. Juga ada kekhawatiran korban akan diminta berkorban untuk memaafkan pelaku?

Wajar ada kekhawatiran seperti itu, karena KKR memang kurang sempurna. Saya berpendapat suara korban tidak didengar saat perumusannya. Juga saat penyusunannya di DPR ada pihak-pihak yang berusaha menghilangkan kata kebenaran. Jadi Komisi Rekonsiliasi saja. Bila tidak ada kata kebenaran, maka tidak ada testimoni untuk mengungkap sebuah kebenaran. Lalu bagaimana bisa mendudukkan secara adil? Sebenarnya selama ini Komnas HAM juga telah membuat penelitian tentang korban-korban pelanggaran HAM saat Soeharto berkuasa. Sampai sekarang pun ini masih deadlock. Deadlock di tingkat sidang pleno Komnas HAM itu sendiri.

Ada pendapat rekonsiliasi tidak perlu. Yang penting pengadilan HAM, karena yang utama adalah penegakan hukum?

Idealnya, untuk menuntaskan permasalahan pelanggaran HAM pada masa lalu memang dengan penegakan hukum saja. Untuk kompensasi dan sebagainya biarlah juga ditentukan oleh pengadilan, yakni pengadilan HAM.

Saya tidak tahu mendetail tentang KKR. Hanya saya paham ini merupakan amanat konstitusi. Konsekuensinya harus dilaksanakan. Ya mungkin dengan cara ini ada penyelesaian yang lebih beradab, lebih win-win solution, daripada serbapengadilan, namun tetap tidak menghapuskan dendam dan luka lama. Sayang yang untuk amanat konstitusi saja pemerintah belum mengambil tindakan nyata.

Kita tagih dulu apa yang menjadi amanat konstitusi. Setelah itu barulah kita perbaiki lagi mekanisme untuk mengungkap kebenaran. Yang perlu kita tekankan juga agar tidak terlewatkan adalah, perlu pengakuan hak-hak sipil dan politik bagi mereka yang dulu dianggap sebagai musuh negara. Hal itu harus dipulihkan kembali.

Saya juga khawatir KKR nanti tidak bisa berbuat apa-apa, karena kewenangannya terbatas. Misalnya hanya mencatat pengakuan dari para korban dan pelaku atau tidak lebih sebagai tempat menampung catatan pengakuan. Tapi kalau wewenangnya lebih jangan-jangan nanti tumpang tindih dengan Komnas HAM. Maka perlu aturan main yang lebih pas, sehingga keberadaannya sangat menunjang rekonsiliasi nasional.

Menurut Anda masalah apa lagi yang bisa menghambat rekonsiliasi?

Ada. Yaitu diskriminasi dan policy pemerintah yang unfair. Saya rasa akan dirasa lucu, kalau sekarang bicara rekonsiliasi, tetapi di mana-mana tercoret tulisan, "Awas bahaya laten komunis!" Ini saya rasa unfair.

Karena bila ada kesalahan dirinya sendiri, maka selalu saja yang diungkit-ungkit kesalahan pihak lain pada masa lalu.

Saat ini kan banyak kemiskinan, pengangguran, dan buruh ditekan. Mereka lalu bergolak. Eh, langsung saja pihak lain diungkap masa lalunya sebagai bahaya atau musuh. Langsung saja disebut aksi buruh itu ditunggangi neo-PKI dan sebagainya. Ini kan tidak menyelesaikan masalah. Justru melebarkan masalah dan unfair atau double standard.

Negara kita sedang butuh dana besar, di sisi lain banyak dana koruptor yang parkir di luar negeri. Apakah perlu rekonsiliasi bidang ekonomi untuk memperbaiki keadaan?

Sebetulnya yang namanya rekonsiliasi itu hanyalah untuk kasus-kasus pelanggaran HAM. Tapi bisa saja kita gunakan untuk kepentingan ekonomi. Yang bidang ekonomi mungkin contohnya begini, Presiden Korea Selatan Park Chung Hee, pernah mengumpulkan semua koruptor dan pengusaha korup di sana. Dia bilang, saya akan memaafkan Anda, tetapi Anda harus membangun industri nasional yang tangguh di Korsel yang membangkitkan ekonomi dan menyerap banyak tenaga kerja. Kalau berhasil akan kami maafkan, tetapi kalau gagal tiada maaf bagi Anda semua. Namun yang namanya policy seperti ini membutuhkan keberanian yang luar biasa seorang pemimpin. Jadi tinggal berani atau tidak.

Itu untuk Korsel, tetapi kalau untuk Indonesia, saya lebih suka harus ada proses pengadilan terlebih dahulu, ada vonis bersalah, lalu dimaafkan dengan syarat uang yang diparkir beserta bunga-bunganya dikembalikan ke pemerintah. Jadi harus ada dulu pernyataan bersalah secara hukum. Tapi ini di luar kewenangan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ini kan masalah korupsi. (Hartono Harimurti-35)

http://www.suaramerdeka.com



Tidak ada komentar: