Minggu, 13 April 2008

Komunis , Apa Kata Dunia

Pemerintah dan Rakyat Harus
Waspadai Bahaya Laten Komunis


Sabtu, 29 April 2006
JAKARTA (Suara Karya): Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (AD) meminta pemerintah dan rakyat Indonesia agar tidak lengah pada bahaya laten komunis. Hal ini tetap diingatkan meski perang dingin negara-negara komunis dunia telah rontok.
Ketua Umum Persatuan Purnawirawan TNI AD Letjen (Purn) Soerjadi, di Jakarta, Kamis (27/4), mengatakan, ideologi komunis di Indonesia tidak pernah mati, terlebih lagi kondisi kehidupan bangsa masih diliputi kemiskinan dan kesenjangan sosial.
"Sekalipun Partai Komunis Indonesia (PKI) telah dibubarkan dan dilarang keberadaannya, namun di era reformasi ini justru memberi peluang munculnya multiideologi. Kendati secara organisasi PKI sudah tidak ada, namun secara ideologi tidak pernah hilang," katanya.
Soerjadi menyodorkan beberapa bukti yang mendukung argumentasinya bahwa ideologi komunis di Indonesia tidak pernah hilang.
Contonhnya beberapa waktu lalu sempat terpampang simbol PKI (palu arit) di Istana Bogor serta adanya berbagai gerakan elemen komunisme bawah tanah melalui kelompok-kelompok diskusi yang dapat ditelusuri mulai 1978, 1982, 1994, dan hingga saat ini di sejumlah kota.
Ia mengatakan, pemerintah harus menyadari adanya kekuatan-kekuatan komunis ini. Untuk itu, pihaknya mendesak pemerintah agar bertindak tegas dengan menggunakan payung hukum yang ada.
Terkait dengan upaya rekonsiliasi nasional, ia mengatakan, persoalan rehabilitasi dan konsolidasi tersebut perlu didukung dengan satu syarat, yakni kompensasi yang dituntut keluarga eks PKI dan keturunannya tersebut tidak harus dipenuhi. Pemerintah dan rakyat Indonesia juga harus berpegang teguh pada Pancasila dan tidak mengakui adanya faham-faham lainnya.
Sependapat dengan Soerjadi, Sekretaris Umum Persatuan Purnawirawan TNI AD Mayjen (Purn) Soetojo NK mengatakan, komunisme itu ibarat teh kotak, yang mereknya bisa bermacam-macam tapi isinya tetap saja teh. "Di lingkungan global, ideologi ini memang tidak laku. Namun kalau kita amati, ideologi ini ternyata tidak mati," katanya.
Dalam pandangannya, ideologi komunis tidak akan berkembang jika suatu negara makmur, sistem pemerintahan yang transparan, dan mengedepankan penegakan hukum.
Di Indonesia, sebelum dinyatakan sebagai partai terlarang oleh pemerintahan Soeharto, PKI pernah melakukan dua kali pemberontakan, yakni pada tahun 1948 yang dipimpin oleh Muso dan pada tahun 1965 oleh DN Aidit. (Ant/Andrian)

http://www.suarakarya-online.com
&quotBarat Sangat Takut pada Bung Karno"
Liputan6.com, Jakarta: Seorang sejarawan menyatakan bahwa sejarah adalah sesuatu yang bersifat fleksibel. Bisa diubah sepanjang ada data baru yang memang otentik dan valid. Pendapat inilah yang mungkin melatarbelakangi pembuatan film dokumenter Shadow Play yang membeberkan seputar Tragedi Gerakan 30 September 1965. "Dalam film Shadow Play ini memang banyak hal baru yang belum pernah diketahui umum sebelumnya. Misalnya semacam dokumen-dokumen Barat yang sebelumnya disimpan secara rapi atau rahasia. Tapi kebijakan mereka (Barat) setelah beberapa tahun [dokumen itu] bisa dibuka. Nah, ini bagi pembuatan film dokumenter bisa diakses," ucap Lexi Rambadate, asisten produser film dokumenter itu saat berdialog dengan Ira Koesno di Studio Liputan 6 SCTV, Jakarta, Selasa (30/9) siang.

Menanggapi silang pendapat seputar Shadow Play, Lexi mengatakan, film dokumenter ini menyajikan sejumlah fakta yang ada [baca: Kebenaran Shadow Play Dipertanyakan]. Menurut Lexi, proses pembuatan film dokumenter itu juga melalui riset. Termasuk merekam sejumlah narasumber yang dianggap valid. "Tak ada rekayasa di situ," ujar Lexi. Apalagi, setiap orang bisa merekam dan mengumpulkan bukti-bukti atau data-data apa saja. Antara lain kekerasan terhadap buruh, orang kecil hingga pejabat. Kemudian, data-data itu dapat dikumpulkan dan dipresentasikan dalam sebuah film dokumenter.

Kendati demikian, Lexi mengakui suatu film dokumenter memang tak bisa lengkap menggambarkan peristiwa sebenarnya. "Apa yang kita lakukan dalam kurun waktu beberapa tahun mengenai peristiwa 1965, memang sangat rumit dan belum jelas. Kita bisa segitu. Mungkin ada pihak yang lain punya, bisa kita gabungkan," kata Lexi.

Lebih jauh Lexi menguraikan, Shadow Play menggambarkan bagaimana sebuah kejadian atau tragedi bisa diputarbalikkan dalam media massa, film, dan media sejenisnya [baca: Shadow Play Menguak Sisi Lain Tragedi G30S/PKI]. Meski begitu Lexi maklum jika ada yang menilai film itu berat sebelah. Namun, Lexi menegaskan krunya berusaha menghubungi berbagai pihak untuk diwawancarai. Termasuk menghubungi Presiden Megawati Sukarnoputri yang notabene putri sulung Bung Karno. "Kita coba mewancarai Megawati. Selama tiga bulan menghubungi, sepertinya sibuk sekali untuk wawancara," Lexi mengungkapkan.

Menurut Lexi, gambaran yang ditampilkan Shadow Play bukan hanya kekejaman mengenai Peristiwa G30S. Lebih luas lagi adalah membeberkan peta kekuatan dunia saat era Perang Dingin. Saat itu, pihak Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris memang meminta para jurnalis mendukung kebijakan Perang Dingin. Jelasnya, segala pemberitaan pro-Barat harus diangkat, sedangkan pemberitaan yang menyudutkan blok Komunis harus ditonjolkan. Seiring dengan itu, menurut Lexi, pihak Barat menganggap Indonesia lebih condong ke blok Timur. "Soekarno saat itu marah besar. [Sedangkan] Barat sangat takut sama Bung Karno," kata Lexi.

Bahkan, menurut Lexi, Inggris mengutus seorang ahli propaganda bernama Norman Rodway ke Indonesia. Dia diperintahkan membuat apa saja agar Bung Karno jatuh. "Sehingga citra Soekarno jatuh. Misalnya Soekarno digambarkan sebagai perayu [ulung] wanita," kata Lexi.

Mengakhiri dialog, Lexi mengaku pihaknya sempat mendapat ancaman. Kejadian itu terjadi saat pemutaran film Shadow Play bagi kalangan wartawan di sebuah toko buku di Jakarta Selatan, Senin malam silam. "Ada tiga orang datang dan mengaku sebagai aparat keamanan. Seorang memakai seragam," Lexi mengungkap. Sayangnya, Lexi tak merinci bentuk ancaman tersebut.

Pagi tadi, dialog mengenai G30S/Partai Komunis Indonesia digelar di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat. Dalam kesempatan ini, sejumlah tokoh Islam mengingatkan kembali akan munculnya bahaya laten komunis. Mereka mensinyalir gerakan komunis berkembang lagi. Gerakan komunis ini mengincar kalangan kampus dan anak-anak muda yang cerdas. Beberapa tokoh Islam yang hadir, di antaranya Husni Thamrin dan Husin Umar. Keduanya meminta masyarakat mewaspadai bahaya laten komunis. Alasannya, gerakan komunis dapat memanfaatkan tingginya tingkat penggangguran. "Mereka menyusup ke mana-mana," kata Husin.(ANS/Tim Liputan 6 SCTV)

http://www.liputan6.com

Sinyalemen Hidupkan Kembali Komunisme Bukan Isapan Jempol
Kapanlagi.com - Sinyalemen yang menyebutkan adanya upaya-upaya untuk kembali menghidupkan paham komunisme di Indonesia bukan isapan jempol atau sekedar isu kosong semata, karenanya pemerintah dan segenap komponen bangsa perlu mengambil langkah-langkah antisipatif untuk mencegahnya.

"Kiranya semua kita sepakat itu bukan isapan jempol semata, karenanya langkah-langkah antisipatif perlu dilakukan," ujar Asisten Intelijen Kasdam I/Bukit Barisan, Kolonel (Inf) Arminson, ketika berbicara pada "Seminar Bahaya Komunis" yang digelar Komisi A DPRD sumatera Utara, di Medan, Kamis (24/08).

Sementara itu, menurut dia, modus perjuangan komunisme di Indonesia hingga saat ini tidak pernah bergeser, yakni selalu memanfaatkan isu kemiskinan, ketidakadilan di bidang sosial, ekonomi dan hukum, serta berupaya mendiskreditkan kelompok atau institusi yang dianggap menghambat atau mengancam perjuangannya.

Komunis merupakan sebuah ideologi yang senantiasa menyebarluaskan kebohongan untuk mencapai tujuannya, menghalalkan segala cara dan merupakan pelaku berbagai tindakan kekejaman di masa lalu.

Langkah-langkah antisipatif yang dimaksud antara lain konsistensi pemerintah dalam memperjuangkan peningkatan pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan rasa keadilan masyarakat guna mencegah upaya penggalangan dari kelompok komunis yang selalu memanfaatkan isu keterbelakangan, kemiskinan dan ketidakadilan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Ditekankannya, bahaya laten komunis dengan segala tipu muslihat, kebohongan serta kekejamannya bukan semata musuh TNI, tetapi musuh seluruh bangsa Indonesia dan semua pihak harus mencegah setiap upaya pihak manapun yang ingin mencabut TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 yang menetapkan PKI sebagai partai terlarang di Indonesia.

Langkah antisipatis lainnya adalah dengan membangkitkan kesadaran masyarakat untuk mencegah hidupnya kembali komunis melalui sarana diskusi, seminar, penyuluhan, ceramah, kemudian mewaspadai upaya penyusupan ideologi tersebut ke tubuh berbagai komponen bangsa baik pemerintah, TNI/Polri, ormas maupun komponen bangsa lainnya.

"Langkah berikutnya adalah mencantumkan kembali materi pelajaran tentang bahaya laten komunis di semua lembaga pendidikan, sementara masyarakat luas harus ikut serta mewaspadai, memantau serta melaporkan kepada pihak berwajib jika melihat adanya kegiatan berkaitan dengan penyebaran ajaran atau paham komunis," katanya.

Lebih jauh disebutkannya, era reformasi dan keterbukaan dewasa ini bahkan telah dimanfaatkan kelompok/kalangan komunis untuk bangkit kembali. Beberapa indikasi ke arah itu antara lain dapat disimak dari pernyataan salah seorang generasi muda keturunan PKI pada 17 April 1996, bahwa "Partai sudah berdiri, 31 tahun terkubur, dibantai, dihina, dibunuh, dilarang, diawasi, dikhianati, sekarang dibangun lagi".

Kemudian juga dapat dilihat dari bermunculannya berbagai macam organisasi massa baik oleh generasi tua maupun generasi muda keturunan PKI dengan berbagai cover, antara lain untuk memperjuangkan hak asasi manusia.

Indikasi lainnya adalah pelaksanaan Temu Raya eks Tapol/Napol G30S PKI di Jakarta, 15-17 Februari 2002, yang bertujuan membentuk suatu organisasi besar yang solid guna membantu partai sebagai wadah aspirasi para eks Tapol/Napol PKI dan keluarganya.

"Kita juga bisa melihat peluncuran buku 'Aku Bangga Menjadi Anak PKI' yang menggambarkan keinginan untuk memberi contoh kepada keturunan Tapol/Napol PKI agar menyebarkan kembali paham komunis dan mengembangkan sikap tidak percaya kepada pemerintah," ujar Arminson.

Ia juga menunjuk pembuatan film SHADOW PLAY, yakni sebuah film "pelurusan sejarah" menurut opini dan versi komunis terkait peristiwa G30S PKI. Di film itu disebut G30S PKI adalah konspirasi yang didalangi Soeharto dan TNI AD, sementara PKI hanya kambing hitam.

Kemudian Kongres Nasional II, 3-5 Maret 2004 di Cianjur yang bertema "Partai Komunis Tidak Pernah Mati" sebagai indikasi lain adanya upaya-upaya untuk kembali menghidupkan paham komunis di tanah air.

"Kita juga tidak boleh lengah, karena saat ini juga tengah ada upaya membuat jaringan nasional dan internasional dengan gerakan-gerakan terselubung dalam berbagai bentuk untuk menggalang kader PKI di seluruh Indonesia dan menyusup ke kalangan generasi muda, mahasiswa dan pelajar dengan menggunakan jaringan baru komunis di Indonesia," katanya. (*/lpk)

http://www.kapanlagi.com

Kodam IV/Diponegoro Miliki
Kesamaan dengan Perjuangan Angkatan 66

Semarang, Pelita
Pangdam IV/Diponegoro Mayjen TNI Darpito Pudyastungkoro, SIP, MM menyatakan bahwa Kodam IV/Diponegoro mempunyai kesamaan dalam perjuangannya dengan Angkatan 66, yaitu sebagai kekuatan moral, dalam mempertahankan NKRI, Pancasila, dan UUD 1945.
Untuk itu pada masa kini dan ke depan, kebersamaan dan kemitraan yang layak dikembangkan antara TNI dengan anggota Angkatan 66 adalah bagaimana mewaspadai munculnya aliran yang beraspirasi memecah-belah bangsa dan negara di tengah dinamika dan euforia reformasi ini, jelas Pangdam saat menerima audiensi Pengurus Wilayah Dewan Nasional 66 (PW DN 66) Provinsi Jateng, di ruang kerjanya, di Makodam IV/Diponegoro Watugong Semarang, akhir pekan lalu; tulis Dispenad mengutip Pendam IV/Diponegoro.
Kunjungan PW DN 66 ini dipimpin ketuanya Drs Anton H Sunarto bersama Pengurus DN 66, dengan tujuan selain bersilaturahmi dengan Pangdam yang baru, juga menyampaikan rencana mengadakan sarasehan dan ziarah ke makam Letjen TNI (Purn) Sarwo Edhi Wibowo di Purworejo.
Lebih lanjut Pangdam menjelaskan bahwa untuk mewujudkan tugas pokok Kodam IV/Diponegoro yaitu menegakkan kedaulatan negara dan mempertahankan keutuhan wilayah darat di Jateng dan DI Yogyakarta, maka Kodam IV/Diponegoro harus menghadirkan dirinya secara terpadu sebagai kekuatan pertahanan negara yang militan sekaligus sebagai kekuatan moral dan kekuatan kultural bangsa yang berjatidiri Pancasila.
Sebagai kekuatan moral, menurut Pangdam, Kodam IV/Diponegoro dalam setiap sikap, perilaku, dan tindakannya senantiasa memiliki komitmen yang kuat untuk berbhakti hanya kepada bangsa dan negaranya. Sebagai kekuatan kultural, Kodam IV/Diponegoro senantiasa memegang nilai-nilai luhur budaya bangsa, yaitu gotong royong, kebersamaan, kesetiakawanan sosial, dan kekeluargaan, sehingga akan membentuk kekuatan sinergi antara TNI dan rakyat, yang ketangguhannya sudah teruji dan tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa ini.
Sedangkan sebagai kekuatan pertahanan negara, TNI Angkatan Darat menghadirkan dirinya sebagai Bhayangkari negara yang memiliki militansi yang kuat, memiliki moralitas yang tinggi, rela berkorban dan tidak mengenal menyerah dan senantiasa bersama-sama dengan rakyat. Dengan ketiga kekuatan tersebut, diharapkan akan menghadirkan sosok prajurit yang memiliki komitmen kuat untuk kemajuan bangsa dan negaranya, serta senantiasa diteladani oleh lingkungannya dalam aspek sikap dan perilaku serta tindakan-tindakannya, jelas Pangdam.
Menanggapi PW DN 66 tentang bahaya laten komunis, Pangdam menyatakan bahwa bagi komunis walaupun organisasinya sudah tidak ada tetapi paham atau ideologi tetap terus dipertahankan. Untuk itu, Panglima mengingatkan agar kita semua waspada terhadap bahaya laten komunis, karena PKI telah dan terus berusaha mengkomuniskan negara ini dengan cara-cara tidak berkemanusiaan dan jelas-jelas bertentangan dengan dasar negara Pancasila. Oleh karenanya, Panglima mengharapkan untuk merapatkan barisan dan bergandengan tangan, bersatu-padu, bergotong-royong untuk menutup semua celah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi kemungkinan bangkitnya komunisme di negara Indonesia.(be)

http://www.pelita.or.id

Riri Riza: Saya Dulu Makan Nasi Golkar

Riri Riza (Dok. Miles Films)SYUTING film Gie, bagi sutradara Riri Riza, 35 tahun, adalah setumpuk pelajaran tersendiri. Banyak kejadian unik melekat di benaknya. Salah satu adalah pengambilan gambar terakhir yang dilakukannya di Semarang. Adegannya: suasana kampanye Partai Komunis Indonesia yang gegap gempita. Syuting dikerjakan pagi-pagi sekali di sebuah ruas jalan.

Awalnya, Riri kesulitan memotivasi ratusan figuran. Pasalnya, mereka harus berteriak dengan lantang dan bersemangat menyerukan; "Hidup PKI! Hidup PKI!" di tengah-tengah segala atribut merah PKI. Di depan kamera semua figuran saling tatap sebelum berani berteriak. Hasilnya pun tak memuaskan Riri. Emosi yang diinginkannya tak kunjung muncul.

Dengan mikrofon, Riri pun mengajak mereka berteriak penuh semangat. Lama-lama, ledakan emosi para figuran muncul. Tapi apa yang terjadi? meski Riri telah meneriakkan "Cut!", ratusan orang itu masih terus asyik berteriak "Hidup PKI! Hidup PKI!". Giliran Riri yang panik. Ia tengok kiri-kanan, mengambil pengeras suara, lalu mondar-mandir sambil berteriak, "Stop!, Stop!"

Kepada Gatra, Riri Reza menceritakan kejadian itu dengan penuh semangat. Bagi alumnus Royal Halloway University, London, untuk penulisan skenario ini, Gie memang sebuah lompatan. Lewat percakapan dengan wartawan Gatra Krisnadi Yuliawan, Bambang Sulistiyo, dan Imam Sukamto (fotografer), ia menuturkan perspektifnya mengenai Gie. Berikut petikannya:

Benarkah lewat Gie Anda sebenarnya menyampaikan sebuah sikap politik?
Sesudah premiere Gie di Plaza Senayan, saya ngobrol dengan Budiman Sujatmiko. Dia bilang cara saya menangkap kenaifan Gie menarik. Maksud Budiman, sosok Gie yang muncul tampak tidak terlalu mengerti bagaimana cara berpolitik. Saya bilang, kalau Gie mengerti betul bagaimana cara berpolitik maka dia tidak akan menjadi Soe Hok Gie.

Politik bagi Gie adalah politik dengan "P" besar untuk kemanusiaan, bukan untuk kepentingan golongan. Dalam Gie ada statemen: "bahwa sampai hari ini, setelah 32 tahun, kehidupan demokrasi yang bebas dari kepentingan ras, agama, dan partai, belum tercapai". Itu impian Gie.

Sejak awal, Anda memang beniat menyampaikan statemen politik itu?
Saya tidak terlalu berpikir begitu. Saya cuma mau cerita. Namun dalam proses bergelut dengan tokoh ini, saya mendapat dorongan untuk itu, karena saya juga punya concern. Tahun 1999, saya membuat dokumenter tentang seorang ibu yang kehilangan anaknya, seorang aktivis. Saya ikuti ibu itu dengan kamera sampai enam bulan. Saya ikut dia mencari informasi.

Ikut dia bekerja dengan Munir dalam aksi-aksi anti-pelanggaran HAM, bertemu berbagai macam orang di Puspom ABRI dan lain-lain. Saya jadi berpikir, hidup orang yang concern dengan politik itu luar biasa. Orang yang sering dikatakan naif seperti ibu itu, Gie, Wiji Thukul, Munir bukan saja tidak tahu cara menjadi orang besar, juga tidak bermimpi untuk menjadi tokoh besar.

Tidak merasa sedang mengkultuskan sosok Soe Hok Gie?
Mudah-mudahan tidak. Saya percaya, Gie itu bukan hero dalam pengertian punya jasa kongkret. Banyak yang bersaksi bahwa Gie berani berada di garis depan aksi protes, melempar batu, bahkan berbaring di depan panser. Tapi bukan bagian itu yang saya ceritakan, karena bagian itu justru akan membuat Soe Hok Gie sama dengan yang lain.

Lalu Gie seperti apa yang hendak disajikan?
Gie yang senantiasa berkelahi dengan dirinya sendiri. Sisi menarik Soe Hok Gie adalah karena dia bergulat terus-menerus dengan dirinya, bergolak sampai titik yang dia tidak mengerti untuk apa.

Jadi, Anda menafsirkan satu sisi hidup Gie atau hanya merekonstruksinya?
Bisa dibilang fifty-fifty. Intinya saya mau bebas. Kita tidak suka terminologi film seni atau film komersial. Kita menganggap film adalah kombinasi antara seni dan industri. Saya membuat sebuah film dramatik, tetapi juga ada sejarawan seperti Maxwell (John Maxwell, penulis Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani --Red.) menyelia akurasi ceritanya.

Anda merasa punya beban menggarap Gie? Sebab ada pengkisahan yang terkesan Anda tahan-tahan.
Saya percaya betul pada nuansa dan feeling. Saya mencoba menyentuh emosi, mencoba membuat cerita ini jelas. Saya memperkenalkan tokoh dengan baik, namanya harus disebut dengan jelas, motivasi yang melatarbelakangi setiap aksinya harus jelas. Kalau ada kesan saya menahan sesuatu, jangan-jangan memang itu intensi saya untuk menciptakan nuansa atau suasana seperti itu.

Mengapa film ini berbeda dengan film-film Anda sebelumnya?
Karena saya percaya bahwa gaya dan bentuk itu hadir dari cerita. Ada sutradara seperti Woody Allen yang apa pun ceritanya, dari shot pertama kita bisa tahu bahwa itu film dia. Saya kebalikannya, saya lihat dulu ceritanya, baru saya tentukan style film saya.

Apakah sikap politik Gie mempengaruhi Anda dalam menggarap Gie?
Saya bukan seperti Oliver Stone yang punya statemen politik terus-menerus. Meski mungkin ini titik awal menuju ke sana. Saya membuat film dengan menampilkan elemen-elemen baku sebuah film. Saya film-maker, bukan budayawan dengan statemen lantas mencari gagasan mediasi yang tepat. Tapi, menurut saya, sejak 1998, semua orang segenerasi saya memiliki ketertarikan terhadap politik. Saat itu saya tiba-tiba gelisah dan bertanya: apa itu politik?

Jadi apa pemahaman Anda tentang politik?
Ayah saya adalah juru penerang Departemen Penerangan. Saya selalu diajak keluar-masuk kampung memutar film tentang transmigrasi, keluarga berencana, tentang hasil-hasil pemerintahan Soeharto. Lama sekali saya mengalami apa yang disebut "makan nasinya Golkar". Pertama kali ikut pemilu, tahun 1997, ayah saya mewanti-wanti: "Kamu ingat-ingat ya, kita ini makan nasi Golkar."

Sejak 1998, mulai sedikit ada pencerahan tentang pemahaman politik dalam diri saya. Saya membuat film dokumenter tentang aktivis yang diculik; saya bicara dengan Budiman Sujatmiko, Faisal Reza, Pius Lustrilanang, dan saya bicara dengan semua anggota keluarga dari 13 aktivis yang diculik, saya juga ikut sidangnya, saya ikut bicara dengan Danpuspom saat itu.

Pemahaman itu ditonjolkan dalam Gie?
Dalam Gie ada bagian-bagian yang menunjukkan bahwa Soe Hok Gie menganggap bahwa segala sesuatu harus ditujukan untuk kepentingan masyarakat dan kemanusiaan; bukan untuk satu golongan, kelompok masyarakat tertentu, atau bahkan faksi politik tertentu.

Apakah sempat ragu, membuat Gie yang genre-nya berbeda?
Lucu banget kalau sampai ada keraguan. Kalau ragu, kita tidak akan bertahan tiga tahun lebih untuk membuat film ini, dan tidak mungkin ada investor yang mau mendanai. Ini film berbiaya terbesar sepanjang sejarah produksi Miles: sekitar Rp 7 milyar. Dua dari empat investor utama kita sudah nonton dan mereka mengaku cukup bangga dengan pencapaian film ini.

Ada persoalan dengan Lembaga Sensor Film?
Awalnya saya sempat deg-degan karena memang masih ada klausul; bahwa tidak boleh membenarkan simbol-simbol marxis. Argumentasi kita adalah; kita tidak membenarkan, hanya memperlihatkan kenyataan, mulai rekruitmen Pemuda Rakyat, Komite Sentral PKI, lagu Genjer-Genjer, dan lainnya. Ternyata, yang jadi concern LSF adalah adegan ciuman.

Di masa depan, rencananya mau bikin film apa lagi?
Saya sebetulnya tertarik sekali pada beberapa karya sastra. Dari dulu saya punya mimpi untuk memfilmkan karya Mochtar Lubis, Harimau-Harimau. Lubis sangat pro pada persoalan lingkungan dan saya juga begitu. Novel itu memiliki statemen yang luar biasa tentang lingkungan hidup dan tentang pergolakan manusia; tentang harimau dalam diri manusia.

Saya juga selalu tertarik membaca tentang korban-korban yang dituduh komunis yang "diambil" tanpa diadili. Saya tertarik pada karya Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Tapi, saya juga kepingin membuat film anak-anak lagi. Kasihan anak-anak kita tak punya sesuatu untuk ditonton.

Budiman Sujatmiko:

Rekonsiliasi Itu Amanat Konstitusi

BUDIMAN Sujatmiko dikenal sebagai pendiri Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dianggap sebagai dalang di balik Peristiwa 27 Juli 1996. Pria kelahiran Desa Pahonjean, Majenang, Cilacap, pada 10 Maret 1970 ini kini bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Sebagai sosok yang dipenjara oleh rezim Orde Baru, peraih Master Ekonomi-Politik dari School of Oriental and African Studies, Universitas London, Inggris ini relevan jika harus membahas persoalan rekonsiliasi di negeri ini. Apa komentar dia tentang Soeharto? Apa saran-saran pria yang juga meraih master Hubungan Internasional dari Cambridge University ini terhadap bangsanya? Berikut petikan perbincangan dengan dia di sebuah kafe di RS Pondok Indah, Jakarta Selatan, belum lama ini.

Reformasi sudah berumur sewindu. Apakah di negeri ini masih diperlukan rekonsiliasi?

Perlu, karena masih banyak permasalahan yang menyangkut HAM dan keadilan di negeri ini yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Memang sudah ada upaya untuk itu. Namun sampai saat ini Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) kan belum juga dibentuk oleh pemerintah. Agaknya pemerintah kita tidak menganggap bahwa penyelesaian persoalan-persoalan masa lalu itu sebagai sebuah prioritas.

Mengapa demikian?

Ada semacam 'hitung-hitungan' dari pemerintah ketika hal itu dibuka dan segera diselesaikan, justru akan lebih banyak menimbulkan berbagai persoalan. Masalahnya adalah pihak yang pada masa lalu terlibat konflik, atau terlibat dalam pelanggaran HAM, sampai saat ini belum bisa menerima fakta proses ini harus segera dimulai.

Jadi, bisa saya katakan, pihak-pihak yang dulu posisinya sebagai "penguasa" pada masa lalu yang paling keberatan dengan pengungkapan kebenaran tersebut.

Soal kejahatan kemanusiaan yang katanya sebagai policy negara, dan itu juga akan meruntuhkan begitu banyak versi sejarah Orde baru yang selama ini ada.

Itu dampak moril dan psikologisnya. Belum lagi dampak materiilnya. Begitu banyak orang-orang yang dikorbankan pada masa lalu, sehingga hak perdata mereka dicabut, seperti dipecat dari pekerjaan, karier keluarga dihambat dan sebagainya.

Kalau ini dibuka kembali, maka akan ada tuntutan untuk membayar kompensasi bagi mereka. Ini yang ditakuti pemerintah, karena tentu akan lebih membebani pekerjaan dan keuangan mereka. Terlebih lagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah orang yang ingin menjadi safe player terus-menerus. Dia bukan orang yang bertipe risk taker, orang yang berani mengambil risiko untuk sebuah perubahan demi kemajuan bangsanya.

Menurut saya lebih baik seorang pemimpin berani ambil keputusan yang buruk daripada tidak pernah mengambil keputusan. Makanya, banyak juga yang khawatir, jangan-jangan Presiden tertekan atau tergadai oleh kepentingan-kepentingan kelompok yang terancam oleh keberadaan KKR.

Dengan kondisi seperti ini, bagaimana rekonsiliasi yang digagas oleh masyarakat?

Pernah ada, seperti yang dilakukan di grass root, yaitu antara NU melalui Santri Untuk Advokasi Rakyat (Sarikat) dan eks-PKI. Ketika itu dilakukan, eh malah ada gangguan. Saat mereka bertemu malah dibubarkan oleh Pemuda Panca Marga dan elemen antikomunis lain yang tumbuh subur saat Orde Baru.

Jadi, menurut pendapat saya ini sangat ironis bila berkaitan dengan kasus Soeharto. Wong belum apa-apa, kok sudah ada wacana untuk memaafkan Soeharto. Padahal wacana agar Soeharto dimaafkan itu muncul sebelum pihak keluarga belum menyatakan minta maaf.

Afrika Selatan pernah melakukan rekonsiliasi dan berhasil. Mengapa kita tidak meniru negara itu?

Memang rekonsiliasi nasional yang paling berhasil adalah Afrika Selatan. Selalu saja Afrika Selatan dijadikan contoh ideal. Namun yang perlu diingat adalah ada syarat khusus yang dimiliki Afrika Selatan, dan itu tidak dipunyai oleh Indonesia saat ini.

Nelson Mandela sebagai sang pelopor mempunyai atribut atau dua hal yang membuat dia mempunyai otoritas dalam sebuah rekonsiliasi. Pertama, dia adalah seorang korban policy apartheid, sehingga dia mempunyai otoritas moral untuk memberikan maaf. Adapun syarat kedua dia adalah seorang presiden yang mempunyai otoritas politik untuk menjalankan policy itu. Terlebih lagi dia figur yang sangat karismatik sehingga langsung mendapatkan dukungan penuh rakyat yang sebagian besar berkulit hitam yang juga senasib dengannya.

Nah sekarang di Indonesia, apakah presidennya adalah korban dari masa lalu? Kan dia tidak pernah menjadi korban policy pemerintah pada masa lalu. Jadi kalaupun dia mau memberi maaf, dia tidak punya otoritas moral untuk itu. Kalau ada pertanyaan bukankah Presiden Megawati pernah dalam posisi sebagai korban, mengapa dia tidak berbuat banyak untuk itu? Saya jawab, soal KKR kan diajukan saat Megawati menjabat. Sayang terjadi proses yang berlarut-larut sehingga belum tuntas saat jabatannya berakhir. Lalu diganti pemerintahan yang baru, dan nasibnya juga sama, belum tuntas.

Makanya saya perlu mengatakan, sekaranglah saatnya pemerintah mengajak ngomong para korban. Pemerintah harus mendengar semua dari mereka. Jangan malah terbalik seperti saat menangani kasus Soeharto. Masa kita begitu gigih membicarakan tentang kemanusiaan seorang Soeharto, lalu mengabaikan kemanusiaan jutaan orang termasuk keluarganya di luar sana.

Ada kekhawatiran pembentukan KKR untuk menghapus dosa-dosa lama. Juga ada kekhawatiran korban akan diminta berkorban untuk memaafkan pelaku?

Wajar ada kekhawatiran seperti itu, karena KKR memang kurang sempurna. Saya berpendapat suara korban tidak didengar saat perumusannya. Juga saat penyusunannya di DPR ada pihak-pihak yang berusaha menghilangkan kata kebenaran. Jadi Komisi Rekonsiliasi saja. Bila tidak ada kata kebenaran, maka tidak ada testimoni untuk mengungkap sebuah kebenaran. Lalu bagaimana bisa mendudukkan secara adil? Sebenarnya selama ini Komnas HAM juga telah membuat penelitian tentang korban-korban pelanggaran HAM saat Soeharto berkuasa. Sampai sekarang pun ini masih deadlock. Deadlock di tingkat sidang pleno Komnas HAM itu sendiri.

Ada pendapat rekonsiliasi tidak perlu. Yang penting pengadilan HAM, karena yang utama adalah penegakan hukum?

Idealnya, untuk menuntaskan permasalahan pelanggaran HAM pada masa lalu memang dengan penegakan hukum saja. Untuk kompensasi dan sebagainya biarlah juga ditentukan oleh pengadilan, yakni pengadilan HAM.

Saya tidak tahu mendetail tentang KKR. Hanya saya paham ini merupakan amanat konstitusi. Konsekuensinya harus dilaksanakan. Ya mungkin dengan cara ini ada penyelesaian yang lebih beradab, lebih win-win solution, daripada serbapengadilan, namun tetap tidak menghapuskan dendam dan luka lama. Sayang yang untuk amanat konstitusi saja pemerintah belum mengambil tindakan nyata.

Kita tagih dulu apa yang menjadi amanat konstitusi. Setelah itu barulah kita perbaiki lagi mekanisme untuk mengungkap kebenaran. Yang perlu kita tekankan juga agar tidak terlewatkan adalah, perlu pengakuan hak-hak sipil dan politik bagi mereka yang dulu dianggap sebagai musuh negara. Hal itu harus dipulihkan kembali.

Saya juga khawatir KKR nanti tidak bisa berbuat apa-apa, karena kewenangannya terbatas. Misalnya hanya mencatat pengakuan dari para korban dan pelaku atau tidak lebih sebagai tempat menampung catatan pengakuan. Tapi kalau wewenangnya lebih jangan-jangan nanti tumpang tindih dengan Komnas HAM. Maka perlu aturan main yang lebih pas, sehingga keberadaannya sangat menunjang rekonsiliasi nasional.

Menurut Anda masalah apa lagi yang bisa menghambat rekonsiliasi?

Ada. Yaitu diskriminasi dan policy pemerintah yang unfair. Saya rasa akan dirasa lucu, kalau sekarang bicara rekonsiliasi, tetapi di mana-mana tercoret tulisan, "Awas bahaya laten komunis!" Ini saya rasa unfair.

Karena bila ada kesalahan dirinya sendiri, maka selalu saja yang diungkit-ungkit kesalahan pihak lain pada masa lalu.

Saat ini kan banyak kemiskinan, pengangguran, dan buruh ditekan. Mereka lalu bergolak. Eh, langsung saja pihak lain diungkap masa lalunya sebagai bahaya atau musuh. Langsung saja disebut aksi buruh itu ditunggangi neo-PKI dan sebagainya. Ini kan tidak menyelesaikan masalah. Justru melebarkan masalah dan unfair atau double standard.

Negara kita sedang butuh dana besar, di sisi lain banyak dana koruptor yang parkir di luar negeri. Apakah perlu rekonsiliasi bidang ekonomi untuk memperbaiki keadaan?

Sebetulnya yang namanya rekonsiliasi itu hanyalah untuk kasus-kasus pelanggaran HAM. Tapi bisa saja kita gunakan untuk kepentingan ekonomi. Yang bidang ekonomi mungkin contohnya begini, Presiden Korea Selatan Park Chung Hee, pernah mengumpulkan semua koruptor dan pengusaha korup di sana. Dia bilang, saya akan memaafkan Anda, tetapi Anda harus membangun industri nasional yang tangguh di Korsel yang membangkitkan ekonomi dan menyerap banyak tenaga kerja. Kalau berhasil akan kami maafkan, tetapi kalau gagal tiada maaf bagi Anda semua. Namun yang namanya policy seperti ini membutuhkan keberanian yang luar biasa seorang pemimpin. Jadi tinggal berani atau tidak.

Itu untuk Korsel, tetapi kalau untuk Indonesia, saya lebih suka harus ada proses pengadilan terlebih dahulu, ada vonis bersalah, lalu dimaafkan dengan syarat uang yang diparkir beserta bunga-bunganya dikembalikan ke pemerintah. Jadi harus ada dulu pernyataan bersalah secara hukum. Tapi ini di luar kewenangan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ini kan masalah korupsi. (Hartono Harimurti-35)

http://www.suaramerdeka.com



KEHENDAK PEMUDA MENUNTASKAN KRISIS KEPEMIMPINAN BANGSA

Disampaikan pada dialog interaktif,Hotel Wisata Jakarta 10 Maret 2001

Yuddy Chrisnandi *)
Dosen Universitas Nasional & Universitas Trisakti
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia


Apa pendapat kita mengenai efektifitas kepemimpinan Presiden Abdurahman Wahid, yang secara faktual kurs rupiah terhadap dolar AS telah melampaui 10 ribu rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan terpuruk pada kisaran 400 rupiah, saat ini? Alasan apalagi yang dapat menjelaskan bahwa dibawah kepemimpinannya masih memiliki kewibawaan pada saat kehadirannya ke Kalimantan Tengah untuk menenangkan justeru menambah jumlah kematian? Bagaimana menjelaskan kepada publik dunia bahwa rakyat Indonesia mendukung pemimpinnya, sementara dari hari kehari tuntutan mundur kepadanya kian nyaring dan meluas? Masih pada tempatnyakah berdebat soal legitimasi dan periode waktu, sementara kepercayaan semakin pudar dan bangsa semakin terpuruk? Lihatlah Aceh, Maluku, Irian Jaya dan Kalimantan Tengah, yang saat ini masih meneteskan darah dan air mata, ribuan jiwa manusia. Lihatlah rakyat jelata, para petani, para buruh, pedagang kecil, nelayan, supir angkutan, para guru dan bahkan para pegawai negeri rendahan, yang mulai menjerit memenuhi kebutuhan hidup yang semakin mahal, karena pendapatan tidak bertambah sementara harga barang terus melonjak. Akankah kita harus sabar menunggu hingga 2004, tanpa kepastian segalanya akan lebih baik. Ataukah kita sudah melacurkan seluruh tubuh bangsa ini kepada penguasa yang lebih senang bepergian daripada menyelesaikan masalah bangsanya? Tanyakan pada diri kita, apakah pemimpin yang seperti ini layak dipertahankan? Jawabannya adalah Tidak. Lalu, apa langkah kita selanjutnya.. Akankah sekedar menggantinya, dan memberikan mandat kosong konstitusional tanpa komitmen kerah reformasi yang dicita-citakan? Tentu juga tidak. Maka, para pemuda berkeharusan untuk menggagas. Menggagas masadepan bangsanya mempercepat terciptanya masyarakat yang adil dan makmur, yang sudah terlalu lama diimpikan.

Perspektif Ekonomi

Kondisi perekonomian nasional yang diharapkan lebih cerah dibawah iklim politik demokratis, dibawah pemerintahan Presiden Wahid, nyatanya tidak terjadi. Hal-hal yang lebih buruk dari keadaan sebelumnya justeru merupakan realita parameter ekonomi yang tidak terbantahkan. Untuk itulah, diperlukan gagasan dasar dan tolak ukur pembangunan ekonomi yang harus dilakukan pasca pemerintahan Presiden Wahid. Untuk itu perlu pemikiran yang konsepsional dan implementatif yang terukur, diantaranya sebagai berikut :

- Meningkatkan kemampuan daya beli masyarakat, melalui pemberdayaan ekonomi pedesaan dan pemberian modal usaha kecil seluasnya.
- Hal diatas hanya mungkin bila dunia perbankan pada kondisi yang sehat, melalui pemulihan asset-asset produktif, profesionalisme dan kemampuan mengelola tabungan masyarakat secara efektif/produktif.
- Perencanaan pembangunan yang berbasis kebutuhan rakyat, pelibatan rakyat dalam pembangunan sarana dan prasarana pendorong peningkatan pendapatan.
- Konsep pembangunan yang berkesinambungan, berlanjut, mengarah pada satu titik maksimalisasi kekuatan ekonomi Nasional, melepaskan secara bertahap ketergantungan pembiayaan internasional.
- Mengembangkan sumberdaya manusia, inventarisasi dan eksploitasi produktif sumber-sumber daya alam dan pengembangan produktivitas sektor pertanian, kehutanan dan kelautan, sebagi penopang pendapatan nasional yang kuat.
- Menempatkan kesejahteraan yang berkeadilan dan merata sebagai landasan penyusunan operasionalisasi pembangunan ekonomi.
- Menggalakan kebanggaan akan produksi dalam negeri, meningkatkan kemauan dan kemampuan eksport produk unggulan, membina jiwa kewirausahaan masyarakat.
- Meningkatkan pajak secara progresif terhadap barang mewah dan import, menghimpun pajak pendapatan penghasilan tinggi sebagai subsidi pembangunan masyarakat kurang mampu.
- Industrialisasi pertanian dan perikanan, dengan mengembangkan prasarana usaha produksi pedesaan.
- Keberpihakan pembangunan ekonomi bagi si kecil yang banyak.

Beberapa hal diatas perlu dikembangkan dan diturunkan satu-persatu menjadi konsep yang terukur dan sistematis sebagai pedoman perbaikan ekonomi Nasional mencapai kesejahteraan yang diinginkan.

Perspektif Politik

Sekalipun saat ini situasi kehidupan demokrasi jauh lebih baik dari sebelumnya, namun belum dapat dikatakan bahwa demokrasi telahberjalan dengan baik. Kesenjangan antara partisipasi/hasrat berpolitk masyarakat dengan tanggungjawab politiknya, menyebabkan tindakan anarki massa yang merugikan masyarakat sendiri. Kekuasaan sebagai tujuan akhir pertarungan demokrasi politik, belum disikapi sebagai sebuah amanah untuk menjalankan roda politik yang elegan, namun masih dimaknai dengan kehendak berkuasa dan berbagi kekuasaan. Politik yang sehat tentunya harus dibangun diatas jiwa dan moralitas politik yang benar. Yang mampu merasakan denyut nadi rakyat yang menjadi tolak ukur ada tidaknya dukungan politik dalam kerangka berdemokrasi secara sehat. Untuk itu diperlukan perencanaan format politik sebagaiberikut
:

- Menetapkan dan memantapkan wacana sistem politik yang terbuka, yang memperkenankan partisipasi luas masyarakat terlibat dalam urusan politik dan pelibatannya dalam proses pengambilan keputusan nasional baik langsung atau tidak langsung.
- Fungsionalisasi secara maksimal lembaga eksekutif, legislatif ,yudikatif dan lembaga kenegaraan lainnya secara efektif untuk saling mengawasi dan bekerjasama dalam kerangka demokrasi dan penegakan konstitusi.
- Proses rekrutmen politik yang berasal dari bawah, atas kehendak rakyat dalam memilih wakil-wakilnya di lembaga-lembaga kenegaraan secara transparan dengan kaidah profesionalisme dan keberpihakan untuk bekerja bagi rakyat.
- Sistem pemilihan umum yang langsung, pemilihan anggota parlemen dan Presiden langsung, yang memungkinkan seluruh rakyat terlibat dalam proses demokrasi.
- Menempatkan peran militer dengan tepat sebagai alat pertahanan negara yang perlu dihargai tanpa harus mengintervensi kepentingannya untuk menjaga profesionalismenya.
- Format hubungan sipil militer dalam kerangka tugas pemerintahan, hubungan kelembagaan dan peran politik sebagai warga negara, ditempatkan secara proporsional, objektif dan egaliter, dibawah kepemimpinan Sipil.
- Memantapkan tujuan ber-Negara untuk membuat rakyat sejahtera dan menjamin rasa aman bagi seluruh yang bernaung dalam Negara.

Perspektif Budaya

Pendidikan merupakan pintu emas memasuki cara berpikir dan kehidupan yang demokratis. Demokrasi hanya memungkinkan dibangun oleh mereka yang berpendidikan dan memahami hakekat kebebasan berpendapat, harga diri, perbedaan dan kesamaan didepan hukum. Melalui pendidikan, masyarakat akan memiliki kebudayaan yang berperadaban dan masyarakat yang bermartabat. Budaya bangsa yang berurat berakar, merupakan modal dasar persatuan bangsa, mulai goyah sebagai akibat tidak berfungsinya pendidikan budi pekerti dan hilangnya ketauladanan. Untuk itu diperlukan gagasan pembangunan budaya yang meliputi aspek :

- Pembangunan/perluasan pendidikan masyarakat dengan wajib belajar hingga 9 tahun, untuk memacu pertumbuhan sumber daya manusia yang unggul. - Pembangunan pendidikan ditempatkan sebagai strategi pembangunan ekonomi dan politik dalam kerangka pemantapan budaya bangsa yang menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika, mencapai kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan yang merata.
- Melestarikan budaya bangsa yang mencakup aspek pelestarian alam dan lingkungannya, sebagai catatan hidup perkembangan sejarah kebesaran bangsa bagi kepentingan generasi penerus.
- Kebudayaan berarti jatidiri sebagai bangsa yang luhur, yang ditanamkan melalui nilai-nilai pendidikan sebagai gawang akhlak dan perekat budaya menyikapi perubahan tata pergaulan dunia di alam global.
- Peradaban dunia yang semakin modern, menuntut kemampuan masyarakat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai bahasa pergaulan global yang ditujukan untuk kesejahteraan nasional.
- Rasa kebangsaan atau nasionalisme, karakter sebagai bangsa, harus tertanam dalam setiap jiwa warga negara yang bangga dan memiliki harga diri. Nasionalisme harus disertai rasa kebersamaan dan percaya diri sebagai bangsa yang ingin dihormati ditengah pergaulan bangsa-bangsa di dunia.
- Perbedaan dan keragaman budaya, memerlukan proses asimilasi yang terus-menerus untuk menghindari pertikaian antar budaya bangsa, melalui kepemimpinan yang berwibawa yang memahami akar-akar persoalan budaya.


Perspektif Hukum

Reformasi yang dicanangkan untuk membasmi KKN dan berbagai penyimpangan keuangan Negara, hingga saat ini belum menggembirakan. Akibat tidak tegaknya hukum dan mentalitas pemimpin serta aparat penegak hukum sendiri, maka supremasi hukum yang menjadi cita-cita bernegara menjadi sia-sia.Pelaksanaan Hukum atau Konstitusi itulah yang membedakan modern tidaknya suatu negara. Maka diperlukan :

- Jaminan terciptanya rasa keadilan masyarakat terhadap pemberlakuan hukum yang tidak memihak, melalui Supremasi/penegakan Hukum dengan tegas. - Pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme baik masa lalu , saat ini dan mendatang sebagai upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisiensi keuangan negara dan mengembalikan hak-hak negara yang telah disalahgunakan. - Penegakan konstitusi dan penyebarluasan Undang-undang kepada masyarakat, untuk membentuk rakyat yang sadar hukum. - Profesionalisme aparat penegak hukum melalui proses seleksi yang mengedepankan mentalitas jiwa yang baik, pejabat negara yang bersih dan memberlakukan sangsi hukum seberatnya atas pelanggaran jabatan yang diembannya.

- Implementasi komite anti korupsi, untuk memeriksa dan menindak seluruh pejabat pemerintahan tanpa kecuali, melalui perangkat aturan yang jelas untuk membebaskan negara dari KKN. Dan akhirnya, pembangunan politik dan ekonomi sebaik apapun tanpa didukung oleh komitmen penegakan Hukum tidak akan ada artinya, hanya menciptakan bangsa yang korup dan pragmatis. Maka Pimpinan Lembaga penegak Hukum harus mencerminkan keteladanan dan kelurhuran budi dengan komitmen yang kuat melakukan reformasi hukum sekaligus penegakan Hukum yang tegas.


Perspektif Moral

Muara dari seluruh gagasan mengenai bangsa, pada akhirnya memerlukan kepemimpinan Nasional yang tidak saja cakap dan berwibawa, namun harus didukung oleh keluhuran jiwa dan moralitasnya sebagai orang yang beriman kepada Tuhan YME. Dengan demikian, membangun suatu bangsa haruslah berpijak pada nilai-nilai etika dan moralitas para pelakunya. .Keteladanan sangat dibutuhkan untuk menjadi suriteladan rakyat atas perilaku pemimpinnya. Moralitas senantiasa menempatkan nilai kejujuran, kebersamaan dan komitmen yang tinggi bagi kepentingan yang luas. Moralitas artinya memiliki tanggungjawab dan rasa malu . Sangat sulit bila kita memiliki pemimpin yang tidak bertanggungjawan, juga tidak memiliki rasa malu. Bagaimana mungkin kita dapat membangun peradaban masyarakat, bila pemimpin tidak mampu menunjukan keteladanannya sebagai sosok yang menjunjung tinggi kejujuran, ketentraman dan kebersamaan.


Upaya Penuntasan Krisis

Yang paling penting kita gariskan adalah, bagaimana kita melangkah kedepan. Koridor konstitusi yang ada, merupakan jalan terbaik untuk menghargai proses demokrasi yang tengah berlangsung, tanpa harus menghentikan aspirasi yang sedang berkembang. Tuntutan kepada Presiden untuk mengundurkan diri yang
semakin luas, merupakan bukti bahwa kepercayaan kepadanya semakin menipis. Kepercayaan internasional semakin menurun seiring pudarnya legitimasi masyarakat melalui wakilnya diparlemen yang terpilih secara demokratis kepada Presiden. Wacana perbedaan yang ada, perlu dianggap sesuatu hal yang biasa dalam mendewasakan demokrasi, tanpa harus diikuti oleh tindak kekerasan dan anarki. Presiden boleh saja mengabaikan berbagai tuntutan dan merasa dirinya masih memiliki legitimasi konstitusional. Namun fakta
membuktikan bahwa dukungan nasional dan internasional semakin memudar. Sementara itu proses konstitusional tengah berjalan untuk meminta pertanggungjawaban Presiden atas krisis kepemimpinannya selama ini. Maka apapun yang akan terjadi, semuanya harus tetap berada dalam lajur konstitusional yang sejauh ini cukup demokratis. Demokrasi bukan monopoli satu pihak, semua orang dapat berargumentasi mengenai demokrasi, namun secara konstitusioanal kita telah bersepakat menjalankan sistem demokrasi parlemen, yang secara konstitusional berhak menilai kinerja Pemerintahan. Dan tentunya dalam iklim yang demokratis, aspirasi rakyat menjadi landasan proses konstitusi tersebut. Dalam wacana konstitusi dan demokrasi, rakyatlah yang berdaulat melalui para wakilnya yang legitimate. Legitimasi ditentukan oleh sejauhmana mereka memahami dan melaksanakan amanat rakyat. Maka amanat yang tidak dijalankan, hanya menunggu waktu ditariknya mandat kembali kepada rakyat.

Apapun yang akan terjadi, para Pemuda harus mempersiapkan diri dari berbagai kemungkinan, termasuk konsep menjalankan mebangun negara dan yang lebih penting kemampuan mewujudkan harapan rakyat atas perubahan yang terjadi. Bila Gus Dur saja bisa, kenapa kita tidak !

*)Penulis adalah Anggota Forum Democratic Leaders-Asia Pacific yang berpusat
di Seoul, Korea Selatan, sejak Agustus 2000.

http://www.dephan.go.id
EKSISTENSI MARXISME DALAM GERAKAN KAUM BURUH

Yuddy Chrisnandi *)
Dosen Universitas Nasional, Jakarta

Keputusan menunda pemberlakuan Kepmenaker No.78 dan 111/2001, tampaknya tidak mengurangi kekhawatiran akan terjadinya kerusuhan sosial. Setelah sejumlah aksi buruh di berbagai kota,melumpuhkan kegiatan masyarakat mulai reda, keputusan pemerintah menaikan harga BBM justeru meningkatkan kecemasan masyarakat. Pasalnya, baik aksi buruh maupun kenaikan BBM menciptakan rasa takut. Masih terlintas dipelupuk mata, saat aksi damai buruh di Bandung tiba-tiba berubah menjadi sangat anarkis yang berakibat puluhan kendaraan terbakar dan rusaknya gedung pemerintahan. Kendatipun kemudian di sejumlah wilayah memenuhi tuntutan para buruh, namun tampaknya masih tersimpan rasa saling ketidakpuasan. Sementara itu, akibat pemberlakuan harga baru BBM yang terkesan mendadak setelah tertunda, pemogokan supir angkutan melanda sejumlah wilayah di tanah air. Tidak satupun dapat menjamin bahwa skala aksi sosial yang masih kecil tidak berubah lebih luas lagi dalam waktu mendatang. Situasi demikian tidak menciptakan rasa tenteram ditengah masyarakat, walaupun subjek dari kerisauan tersebut adalah masyarakat sendiri.

Setelah sekian lama para pekerja tidak melancarkan aksi besar-besaran, seketika mereka muncul bersamaan dengan kondisi kehidupan nasional yang terpuruk. Perekonomian nasional yang tengah berada diambang batas kelayakan dan kemelut politik yang belum berakhir merupakan kondisi pendorong instabilitas sosial. Protes sosial , gerakan sosial hingga kerusuhan sosial sangat mungkin terjadi dalam situasi semacam ini. Ketidakcermatan pemerintah mengambil keputusan yang tepat adalah pemicu segala kekhawatiran menjadi nyata. Rakyat kecil, yang terdiri dari para pekerja pabrik, buruh kasar, supir angkutan, pedagang eceran, para petani hingga nelayan adalah mereka yang terkena dampak langsung dari setiap kebijakan ekonomi nasional. Masalah-masalah yang berkaitan dengan upah dan kenaikan tarif pelayanan publik seperti BBM atau Listrik sudah dipastikan akan menambah kesulitan mereka. Maka kehadiran gerakan buruh pada barisan terdepan protes sosial, dapat dipandang mewakili jeritan masyarakat tertindas lainnya. Secara sosiologis, komunitas buruh pekerja pabrik relatif lebih terorganisir untuk mengkonsolidasikan diri menjadi sebuah kekuatan. Kesamaan nasib dan keberadaannya, mempermudah terciptanya solidaritas diantara mereka. Tidak mengherankan bila merekalah yang menjadi pioneer sekaligus juru bicara rakyat yang menderita saat ini.

Namun persoalannya akan berbeda, pada saat gerakan memperjuangkan hak-hak mereka disusupi oleh perjuangan ideologis yang menjadikan buruh sebagai pusat gerakan perubahan sosial. Dengannya, gerakan buruh yang dilancarkan melalui aksi-aksi protes dan pemogokan, hanya merupakan upaya conditioning untuk membangkitkan suatu perlawanan sosial. Setiap kerawanan yang muncul ditengah masyarakat akan dijadikan sarana aksi sosial yang dapat mempercepat perjuangan sosial secara ideologis. Berbagai kebijakan pemerintah akhir-akhir ini turut andil dalam menyuburkan munculnya aksi sosial yang dimotori oleh gerakan buruh. Sekalipun terdapat nuansa yang bersifat politis pada rangkaian tindakan aksi para buruh, namun hal itu tidak lebih berbahaya dari adanya latar belakang ideologis didalamnya.


Bangkitnya Komunisme

Cukup beralasan yang berpendapat bahwa gerakan aksi buruh akhir-akhir ini lebih bermuatan politis dibandingkan kepentingan persoalan perburuhan. Argumentasinya, kemelut politik mutakhir yang mempertentangkan kekuasaan Presiden, memerlukan situasi tertentu sebagai pembenaran dilakukannya keadaan darurat. Rencana diberlakukannya Kepmenaker 150/2001, dianggap momentum yang cukup memadai untuk menciptakan kekisruhan. Begitupun kenaikan harga BBM yang hampir bersamaan, merupakan peluang yang kondusif membakar gejolak sosial. Kedua peritiwa itu, dapat dikelola secara politis dan dimanfaatkan bagi tujuan politik tertentu. Apalagi peristiwa tersebut diikuti oleh aksi-aksi anarkis yang keluar dari konteks isue yang ada. Pendapat ini juga didukung fakta serangkaian pemogokan supir-supir angkutan umum yang ditenggarai adanya peran provokator, yang memicu kekisruhan di sejumlah tempat.

Yang lain berpendapat bahwa gerakan aksi buruh merupakan kebangkitan kembali paham Marxisme, yang lazim disebut komunis. Suatu kekuatan yang masih menjadi momok bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Pasalnya, di era pemerintahan saat ini, banyak pihak menganggap organisasi yang bertendensi komunis dan tokohnya, mesra berhubungan dengan kekuasaan sekarang. Hal itu memperkuat dugaan adanya kerjasama politik yang saling memanfaatkan keuntungan diantara mereka. Bahkan, tindakan sekelompok masyarakat yang berupaya memerangi aktivitas yang diduga berpaham komunis, mendapat hambatan dari pemerintah sendiri. Kenyataan itu dapat memaklumkan perkembangan paham komunis yang mulai bangkit membangun kekuatannya dewasa ini. Bukan mustahil, gerakan aksi buruh merupakan bagian dari aktivitas tersebut.

Terlepas dari dugaan diatas, dipahami bahwa buruh merupakan kekuatan utama yang menjadi pusat perjuangan kaum Marxis. Adalah Karl Marx (1818-1883) dan Friedrich Engels , yang pada tahun 1848 menulis buku berjudul "Manifesto Komunis". Didalamnya membahas perlawanan kaum buruh menghadapi dominasi kaum borjuis. Perlawanan tersebut adalah mutlak untuk mendapatkan hak-hak buruh yang telah dirampas oleh para pemilik modal. Pada tahun 1867, didalam kehidupan yang sangat miskin di kota London, Marx melalui bantuan Engels menerbitkan jilid pertama dari tiga jilid Das Kapital. Buku itulah yang dikemudian hari dianggap sebagai kitab suci kaum buruh penganut aliran Marxis. Kematiannya, semakin membangkitkan ajaran Marxisme tentang perjuangan kaum buruh revolusioner dalam menghancurkan kaum borjuis-capitalist. Konsep revolusi sosial, kekuasaan kaum proletariat dan Negara tanpa kelas adalah sebagaian rangkaian pemikiran Marxisme yang menempatkan kaum buruh sebagai pelaku utama perubahan.

Marxisme mengajarkan pentingnya kesadaran kelas pekerja yang tertindas untuk bangkit menuntut hak mereka yang selama ini hidup miskin. Digambarkannya, para keluarga buruh yang hidup dalam rumah sepetak, yang makan hanya sepotong roti telah diperas tenaganya tanpa perhatian dari para majikan. Sementara para majikan / pemilik modal, hidup mewah, menikmati keuntungan dari hasil jerih payah tenaga buruh. Kondisi ini dianggap tidak adil dan membuat jurang pemisah yang dalam. Ketidakpedulian para pemilik modal terhadap kondisi kehidupan kaum buruh adalah pemicu konflik kelas yang berlanjut pada gerakan revolusioner. Pada akhirnya revolusi sosial yang dimotori kaum buruh akan melenyapkan rezim kekuasaan lama dan beralih ketangan mereka dalam wujud Negara tanpa kelas atau komunisme dengan sistem ekonomi sosialis.

Di zaman modern seperti sekarang, dimana negara-negara Komunis penganut paham Marxis telah runtuh, kebangkitan kembali ajaran ini memang banyak diragukan orang. Kegagalan sistem ekonomi sosialis dan sistem politik yang sentralistis, terbukti tidak membawa kemajuan bagi perkembangan kesejahteraan rakyat Hal itu menjadi penyebab ditinggalkannya ajaran Marxisme disejumlah negara, yang berpaling pada liberalisme dan sistem ekonomi pasar bebas atau kapitalis. Situasi ini berlangsung di sejumlah Negara yang secara historis telah melampaui proses transformasi sejarah yang panjang. Pada akhirnya menemukan kembali antitesa dari hasil revolusionernya, yaitu liberalisme ekonomi. Namun kondisi seperti ini tidak dapat disamakan pada negara-negara yang belum melampaui materialisme sejarah seperti tadi. Indonesia dan beberapa negara berkembang yang relatif belum lama menjadi negara industri, masih mungkin masyarakatnya terobsesi dan
memandang ideal gagasan Marxisme.


Membunuh Marxisme?

Berbagai isue buruh seperti upah yang rendah, kondisi kerja yang buruk, hubungan industrial yang tidak seimbang, pengingkaran hak-hak pekerja , merupakan sebagian kecil dari persoalan dihadapi para buruh kita. Wajar saja, bila stabilitas emosional mereka sangat tergantung dari sejauhmana kebutuhan hidupnya memadai. Ketika penghasilan mereka mulai terhimpit oleh kenaikan harga kebutuhan hidup dan minimnya penghasilan, maka mereka mudah untuk marah. Begitupun ketika haknya yang terbatas diabaikan atau diambil oleh para majikan melalui suatu keputusan sepihak, mereka akan berontak. Lebih dari itu, mereka akan melakukan perlawanan saat perjuangannya berhadapan dengan kekerasan.

Bagi kaum buruh, setiap kebijakan yang memberikan perhatian dan keberpihakan kepadanya tidak rela untuk dirubah. Sehingga, Kepmenaker nomor 78 dan 111 tahun 2001 yang merevisi Kepmenaker nomor 150 tahun 2000 dianggap sebagai pengambilan hak buruh. Kebijakan pemerintah seperti itu jelas-jelas membangkitkan perlawanan buruh karena menyangkut hak yang diambil paksa Dengan Kepmenaker nomor 150 tahun 2000, jaminan mendapatkan uang penghargaan, pesangon karena PHK dan ganti kerugian bekerja , harus diberikan kepada buruh sekalipun perusahaan dalam kerugian atau kebangkrutan. Bahkan buruh yang berhenti atas permintaan sendiripun mendapatkan pembayaran. Dengan peraturan seperti itu , sudah tentu melindungi kedudukan kaum buruh, yang tidak akan rela direvisi kembali.

Tampaknya pemerintah tidak cermat dalam mengambil keputusan pemberlakuan Kepmenaker nomor 150 tahun 2000, begitupun sudah terlambat merevisinya dengan Kepmenaker nomor 78 dan 111 tahun 2001. Kondisi perekonomian Indonesia pasca peralihan kekuasaan tahun 1998, hingga kini belum memungkinkan Industri memberikan iklim ideal bagi kehidupan pekerjanya. Kelesuan pasar dan kesulitan keuangan adalah salah satu alasan logis ketidakmampuan para pengusaha melaksanakan Kepmenaker nomor 150 tahun 2000.
Seyogyanya, pemberlakuan keputusan tersebut menyesuaikan dengan kemampuan ekonomi nasional dan kekuatan pelaku industri. Sehingga tidak semata untuk mencari popularitas dengan menuai resiko yang berat. Keberatan para pengusaha itulah yang diakomodir oleh pemerintah dalam revisi peraturan barunya, yang pada sisi lain mengorbankan kepentingan kaum buruh. Pertikaian antara kaum buruh dengan pemerintah yang membela kepentingan pemilik modal inilah yang menjadi bibit subur tumbuhnya ajaran Marxisme.

Dalam hal ini, pemerintah diidentikan dengan kekuasaan kapitalis yang berseberangan dengan kaum buruh. Situasi itu diperburuk oleh kehidupan kaum buruh Indonesia yang sangat minimal. Upah minimum regional yang diterima tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarganya secara memadai. Kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok semakin menghimpit kehidupan mereka. Pada situasi yang serba sulit itulah keberadaan Kepmenaker yang lama sangat dibutuhkan. Dalam kemiskinan dan perasaan tertindas oleh adanya revisi keputusan, eksistensi pemikiran Marxisme dapat diterima. Ajaran Marxisme secara nyata menempatkan keberpihakannya kepada kaum buruh dalam situasi dan alasan apapun. Ketidakpuasan, kemarahan hingga tindakan kekerasan yang dilakukan kaum buruh dibenarkan oleh ajaran ini. Dalam upaya mencapai tujuannya, Marxisme tidak sekedar memperjuangkan hak-hak buruh, lebih dari itu ingin mewujudkan kekuasaan yang baru secara revolusioner. Dari rangkaian diatas, terdapat simbiosis mutualistis antara kepentingan politik jangka pendek dengan kepentingan ideologis yang lebih substansial. Keadaan seperti ini, tentunya merisaukan kita yang tidak sepaham dengannya. Namun realitanya, sangat sulit membunuh Marxisme dalam suasana kemiskinan dan keterpurukan ekonomi yang tengah kita hadapi sekarang. Hanya ada satu jalan yang tidak mudah : Mengembalikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat! Insya Allah, ia akan terbunuh dengan sendirinya tanpa bersusah payah menghadapinya.

*)Penulis juga adalah Dosen Univ.Trisakti, mhs.S-3 Ilmu Politik
Univ.Indonesia, Partisipan Forum Democratic Leaders Asia Pacific dll.
Jl.Tebet Barat X/21 Jakarta 12810, Ph.62-21-7984164

http://www.dephan.go.id

SELAMAT DATANG KEMBALI DEMOKRASI

Yuddy Chrisnandi *)
Dosen Universitas Nasional, Jakarta

Wacana demokrasi Indonesia mulai diperkenalkan sejak penyusunan naskah UUD 1945 oleh BPUPKI dan PPKI. Adalah The founding fathers yaitu Soekarno, Soepomo, Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin, yang menyempurnakan pemikiran tentang konsep Negara bagi Indonesia saat itu (28 Mei -22 Agustus 1945. Perdebatan pendapat mereka saat pencarian landasan kenegaraan Indonesia, memberikan contoh bagaimana demokrasi seharusnya dipraktekkan.

Pada masa awal kemerdekaan (1945-1949, kehidupan berdemokrasi lahir dan tumbuh seiring dengan jatuh bangunnya kabinet Parlementer yang dibawahi Perdana Menteri. Pada masa itu, setiap kepemimpinan PM yang dianggap menyimpang atau gagal, akan mendapat penentangan yang keras dari parlemen. Akibatnya kabinet dapat jatuh bangun dan PM silih berganti. Masyarakat turut bertanggungjawab dan terlibat dalam proses kebijakan publik. Suara rakyat
menjadi barometer keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan yang berlangsung. Rakyat melalui anggota parlemen (Komite Nasional Indonesia Pusat) mengawasi secara aktif jalannya pemerintahan. Periode itu menjadi modal bangsa memaknai demokrasi untuk masa kemudian.

Begitupun kurun waktu 1950-1959, UUDS 1950 memberikan ruang yang lebih besar bagi tumbuhnya partisipasi rakyat dalam kehidupan bernegara. Sistem kabinet parlementer memberikan pelajaran yang berharga dalam memahami kehendak rakyat. Sayangnya pertumbuhan demokrasi seperti itu harus terhenti saat dikeluarkan dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan beberapa alasan subjektif, kekuasaan sepenuhnya kembali ketangan Presiden Soekarno. Sejak itu, masa suram demokrasi berlangsung sangat panjang melampaui kurun waktu
39 tahun kemudian.

Diawal masa suram demokrasi, perjuangan menegakan demokrasi tetap berlangsung. Buku Bung Hatta dengan judul " Demokrasi Kita " (1960), merupakan salah satu bukti bahwa hasrat demokrasi tidak berhenti. Kegagalan Bung Karno mengatasi konflik politik dan terpuruknya perekonomian rakyat, tanpa sengaja melahirkan rezim baru yang anti demokrasi. Dibawah kekuasaan rezim Soeharto yang otoriter, demokrasi di seantero negeri seakan mati suri.
Rezim yang berlatar belakang militeristik ini, berhasil melakukan rekayasa terhadap sistem politik nasional dengan kooptasi kekuasaan yang luas ditengah masyarakat. Rakyat termobilisir memasuki sebuah sistem politik baru yang jauh dari suasana demokratis. Perbedaan pendapat, kritik dan partisipasi rakyat, tidak lagi terdengar. Sebaliknya, kepatuhan, ketakutan dan keseragaman menjadi ciri perilaku sistem politik kekuasaan yang baru.

Rezim militer yang tampil ke puncak kekuasaan politik pasca G-30S-PKI, tidak menyisakan sedikitpun ruang untuk mengembangkan kehidupan yang demokratis. Namun demikian, lembaga-lembaga demokrasi tetap dipertahankan untuk menjaga citra kekuasaan. Pada kenyataannya, lembaga-lembaga tersebut hanya berfungsi sebagai stempel kebijakan penguasa. Masa gelap ini akhirnya menemukan secercah cahaya yang semakin bersinar dipenghujung tahun 1997. Semangat perlawanan rakyat serentak bangkit melawan rezim yang telah berkuasa sejak akhir tahun 1960-an. Jatuhnya kekuasaan rezim Soeharto tanggal 21 Mei 1998, berhasil membangkitkan kembali demokrasi yang selama
ini terbaring.

Harus diakui, pasca kejatuhan Soeharto, Habibie memiliki jasa yang besar memberi ruang yang luas untuk pertumbuhan demokrasi. Melalui pintu demokrasi yang terbuka lebar jugalah, kekuasaan Habibie tidak dapat dipertahankan pada SU-MPR 1999. Demokrasi telah membuka babak baru kehidupan politik Nasional lebih sehat dan bergairah. Terpilihnya Gus Dur dan Megawati sebagai pemimpin bangsa saat itu, memberikan kepastian bahwa roda demokratisasi akan terus bergerak. Terlepas dari berbagai manuver politik yang mengkhawatirkan kehidupan demokrasi, tindakan politik Gus Dur bermakna dalam mematangkan gerakan demokrasi di tengah masyarakat. Kesadaran melaksanakan demokrasi yang baik, telah menyelamatkan bangsa kita dari bahaya percecahan akibat perbedaan pandangan politik. Kedewasaan kita berdemokrasi telah terbukti berhasil melakukan proses alih kekuasaan dengan damai.

Kita sadari bahwa demokrasi bukanlah sesuatu yang abadi, ia dapat berdiri atau terbaring, namun tidak akan pernah mati. Karena demokrasi adalah ruh dari jiwa-jiwa merdeka yang hidup sepanjang zaman. Sejarah telah membuktikan bahwa demokrasi Indonesia tidak lenyap. Perlawanan terhadap rezim otoriter Soekarno maupun Soeharto adalah bukti bahwa demokrasi tidak mati. Ada masa pasang dan surut kehidupan demokrasi, sebagaimana kita alami hingga hari ini. Ditetapkannya Megawati menjadi Presiden RI ke-5, disadari menyisakan keharuan bagi Gus Dur dan pendukungnya. Hasil demokrasi tentu tidak selalu menyenangkan bahkan terkadang menyakitkan. Didalam demokrasi senantiasa menghasilkan kemenangan dan kekalahan. Sikap seorang demokrat akan ditunjukan saat ia menghargai kemenangan maupun menghormati kekalahan orang lain. Sekalipun banyak cara dan jalan menuju demokrasi, namun hasil demokrasi tidak memberikan pilihan yang banyak. Penghargaan kepada yang menang dan kalah dalam suatu kompetisi politik merupakan kemenangan demokrasi itu sendiri.

Alangkah indahnya bila demokrasi di negeri kita dapat terus berlangsung seperti halnya yang digambarkan selama SI-MPR lalu. Persaingan memperebutkan kursi Wapres adalah contoh terindah dalam demokrasi di Indonesia yang kita saksikan. Fenomena kompetisi antara Hamzah Haz dan Akbar Tanjung hingga putaran ketiga pemilihan Wapres, memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi pendidikan demokrasi rakyat. Dari mereka, kita harus belajar mengakui kekalahan dan menghargai kemenangan orang lain. Itulah demokrasi yang sehat. Semoga dibawah kepemimpinan Megawati dan Hamzah Haz, demokrasi yang baru kembali tidak akan pernah dibiarkan pergi.Dibawah kepemimpinan mereka, kita harapkan pembangunan demokrasi tidak pernah berhenti. Selamat datang kembali
Demokrasi !!


*)Penulis adalah juga Dosen Univ.Trisakti, Mhs.S-3 Ilmu Politik Univ.Indonesia, Partisipan Forum Democratic Leaders Asia-Pasific, Aktivis Prodem'80-an dll. Jl.Tebet Barat X/21 Jakarta 12810 Ph.62-21-7984164 / 8354385

http://www.dephan.go.id

Menempatkan Rasionalitas Gerakan Massa

Yuddy Chrisnandi *)

Ada pertanyaan yang mengganjal kita menyikapi perkembangan terakhir, politik seperti apa yang masih mengandalkan dukungan fanatisme dari massa bawah, para pengikut fanatik atau true believer? Selanjutnya, cara pengendalian politik yang manakah yang masih meniscayakan ditaruhnya kuantitas massa tersebut di garda depan ? Yang berteriak mendukung sekerasnya hingga serak, sembari menghantam siapapun yang tidak sependapat dengan mereka? Jawabannya, politik yang masih berada pada level primitif, yang belum tersentuh tata cara demokrasi modern. Tata cara seperti itu, mungkin tidak relevan lagi untuk saat ini. Cara seperti itu tenggelam seiring makin tertinggalnya pemikiran klasik Machiavelli. Dalam konteks massa ini, Erick Hoffer, mengakui pernah ada, tetapi dianggap terlalu barbar dan merendahkan hasrat
kebebasan manusia, dimana sudah tidak tepat lagi diaplikasikan saat ini.

Di tahun 1998, negara ini mencatat kejadian yang dramatis dan fenomenal. Turunnya kekuasaan Soeharto, tak hanya merupakan peristiwa jatuhnya sebuah rejim. Ia lebih merupakan bukti sejarah kemanusiaan, bahwa pada dasarnya kehendak manusia untuk lebih bebas dan menjadi human, tak bisa dikekang oleh kekuasaan despotis macam apapun. Maka menjadi setback yang teramat parah, jika saat ini tata cara despotis yang mengedepankan kehendak diri sendiri semacam yang telah terjadi 30-an tahun lebih itu diaplikasikan kembali. Dengan cara apapun, dan dalih apapun, manajemen despotis tak lagi memiliki ruang untuk dipakai sekedar melanggengkan kehendak berkuasa yang menyala.

Dalam konteks ini, maka akan menjadi ironi jika kita menyaksikan dihadapan mata kita, ruas-ruas jalan yang menghubungkan antar kota sepanjang Jawa Timur dan mungkin juga di Jakarta, dipenuhi ribuan massa yang mengidentikan dirinya Barisan Pendukung Presiden (BPP), yang notabene adalah para warga NU, dan sebagian kecil kelompok pendukung kekuasaan lainnya.. Apalagi jika kemudian niat mereka sebenarnya tak lebih dari sekedar menjadi benteng dari sebuah kekuasaan. Tindakan anarkisme yang radikal, oleh para penganut True Believer dibenarkan sebagai alasan melampiaskan kemarahan atas kekalahan politik, Presiden yang didukungnya. Dukungan dalam bentuk kemarahan seperti itu, sungguh menyedihkan, terlebih sebagian besar pelaku, tidak memahami arti sebuah permainan politik konstitusional yang wajar terjadi di alam demokrasi. Yang mengherankan, elit politik yang terkait langsung dengannya,yang berkemampuan memberikan penjelasan rasional, ternyata menikmatinya. Kondisi seperti itu, tentunya tidak boleh terjadi dalam suatu Negara yang menerapkan sistem demokrasi modern, namun nyatanya demikian.

Menyikapi hal tersebut, pertanyaan paling mendasar yang kita lontarkan adalah: masih bisakah kita berbicara demokrasi jika di lain pihak cara-cara pegerahan massa untuk membentengi kekuasaan ini masih berlangsung? Terlebih buat Presiden Abdurahman, masih bisakah ia mengidentifikasikan dirinya sebagai pendekar demokrasi, seraya membiarkan massanya larut dalam tindakan emosional mendukung dirinya secara fanatis-irrasional? Dukungan yang demikian, terbukti menambah rumitnya situasi tenang yang diucapkannya sendiri. Situasi yang terjadi diberbagai tempat di Jawa Timur, secara mencolok sangat kontras dengan apa yang dilakukan oleh para mahasiswa. Sekalipun para mahasiswa merupakan antitesis dari para pendukung fanatis Presiden Wahid, mereka mampu mengendalikan diri dan menertibkan keadaan. Radikalisme mahasiswa sebatas pada wacana pemikirannya untuk melakukan perubahan yang ideal dari cita-cita reformasi. Hal inilah yang kita katakan gerakan Rasional. Suatu tindakan yang didasari oleh argumentasi kritis yang kuat, yang merupakan hasil dari daya nalar atas objek yang dijadikan sasaran perubahan. Sebaliknya, gerakan dukungan kepada Presiden Wahid, tidak lebih dari pengerahan emosi massa yang tidak dilandasi argumentasi kritis, bahkan norma etis sekalipun atas persoalan yang dihadapi. Suatu ironi tentunya, bila para elit pendukung Presiden Wahid, yang paham konstitusi dan berpendidikan memadai, membiarkan tindakan seperti itu meluas, dengan dalih bukti bahwa Presiden masih memiliki dukungan yang besar. Sementara itu, para elit pendukung dan mungkin Presiden sendiri, berkemampuan mengendalikan bahkan menghentikan tindakan semacam itu. Tentu jika hal ini benar, dan membiarkan anarkisme seperti itu, tidak ada lagi rasa simpati yang dapat diberikan secara rasional kepada mereka. Dalam kondisi seperti itu, Presiden hanyalah sebuah ironi, dan penampilannya pun tak ubahnya berdiri di panggung teater yang palsu.

Di lain pihak, Presiden akan sangat bijaksana bila secara aktif menyadarkan para pendukung fanatiknya tersebut untuk mulai belajar akan makna perbedaan. Memberikan mereka pengertian, bahwa perbedaan yang terjadi saat ini adalah hal yang lumrah dan sehat-sehat saja dalam demokrasi. Tentu saja, di sisi lain, Presiden juga akan sangat tercela bila memakai peristiwa ini sebagai ajang bersandiwara. Misalnya, di sisi lain ia melarang kedatangan para engikutnya (dan ia mendapatkan cum di masyarakat) sedangkan sebenarnya, di sisi lain para pendukungnya tahu bahwa sang patron memang menghendaki kedatangan mereka.

Adalah benar pendapat yang menyatakan bahwa salah satu indikator tingkat peradaban politik ditentukan oleh kematangan alasan dalam menentukan dukungan. Dalam hal ini, maka seorang pemimpin yang hanya mengandalkan fanatisme belaka dari para pendukung yang benaknya pekat oleh dogma, sebenarnya dapat disebut pemimpin yang gagal. Ia gagal mencerdaskan pendukungnya sendiri. Karena di alam demokrasi, sebuah dukungan tidaklah merupakan satu hasil akhir yang selesai. Ia selalu merupakan proses yang sangat terbuka terhadap wacana dan berbagai dialektika. Dukungan itu harus senantiasa terbuka, dan dibangun dari pertanyaan-pertanyaan yang kritis, yang semakin menyempurnakan dukungan itu sendiri.

Mungkin ini yang harus disadari oleh para elit pendukung Presiden Wahid. Mereka harus menyadari bahwa politik yang sehat dan elegan, adalah yang dibangun di atas peradaban, budaya dan sikap yang menghargai ketenangan dan ketenteraman. Politik harus berpangkal, dan akhirnya melahirkan humanitas yang modern. Politik, sebagaimana dukungan, bukanlah kontrak yang abadi dengan junjungan sebagaimana di jaman raja-raja Jawa yang feodal, tetapi sesuatu yang terbuka untuk senantiasa dipikirkan ulang. Bila terbukti kontrak itu hanya akan merugikan kemanusiaan, selalu ada kesempatan untuk menarik langkah ke belakang. Selalu ada ruang untuk tafakur.

Jika ini disadari oleh para elit pendukung Presiden, maka takkan ada pernyataan yang terkesan mutlak, terdengar seperti titah dari penguasa otoritas tertinggi: laknat Allah pada para oposan presiden atau halal darahnya para penentang Presiden. Tentu pernyataan demikian jauh dari ajaran Agama, dan tidak perlu terjadi. Kita meyakini bahwa para elit adalah orang-orang yang paham ajaran Agama yang memiliki kedalaman batin, tingkat spiritual dan rasa kemanusiaan yang takkan mudah dilecehkan kehendak kekuasaan semata. Dan pada itu kita semua sekarang berharap, inilah saatnya membedakan secara jelas antara kepentingan duniawi dan ukhrowi. Dan akhirnya, yang kita perdebatkan hanya urusan dunia yang tidak kekal, dan belum tentu kebenarannya. Itulah Demokrasi yang harus disikapi secara demokratis, bukan anarkis.


*) Penulis adalah Dosen Universitas Nasional & Universitas Trisakti, Mhs.
S-3 Ilmu Politik Universitas Indonesia, Anggota Forum Democratic Leaders
Asia Pacific's, mantan anggota MPR-RI.

http://www.dephan.go.id

Wahpadai Bangkitnya Bahaya Laten Komunis

Banyak orang sulit melupakan tragedi kelam 40 tahun silam tepatnya tanggal 30 September 1965. Waktu itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) mencoba melakukan kudeta dengan menculik dan menyiksa perwira-perwira tinggi Angkatan Darat, kemudian membuang jasadnya ke Lubang Buaya. Tujuan kudeta tersebut tidak lain tidak bukan untuk mengganti ideologi negara Pancasila menjadi ideologi komunis. Tetapi, kudeta tersebut tidak berhasil. Pancasila tetap menjadi ideologi negara, bahkan tiap 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

SEIRING berjalannya reformasi dan kebebasan untuk menyalurkan aspirasi di negara ini, tragedi 40 tahun silam di Jakarta dan Yogyakarta tersebut mulai dilupakan. Bahkan, mata pelajaran sejarah yang berisi tentang peristiwa 30 September 1965 atau pemberontakan PKI Madiun di tahun 1948 tidak diajarkan lagi di sekolah. Begitu juga, apel bendera tiap tanggal 1 Oktober yang diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila tidak lagi dilakukan. Pun, pemutaran film di TVRI mengenai pemberontakan G 30 S PKI tidak lagi dilakukan, karena bertentangan dengan kejadian sebenarnya.
Kini, 8 tahun silam pasca digulingkannya rezim orde baru tanggal 22 Mei 1998, segala sesuatu yang berbau komunis tidak diajarkan kembali di sekolah sampai ada kejelasan mengenai kejadian sebenarnya untuk disusun kembali dalam kurikulum di sekolah. Tak sadar kita telah terlena dan tidak menyadari, jika paham-paham komunis atau gerakan sejenisnya mulai muncul di Indonesia. Konflik antarkampung, antarelite politik hingga demo yang mengarah pada tindakan anarkis tidak dipungkiri sebagai sebuah pertanda paham komunis mulai merasuki hati generasi muda Indonesia.
Gubernur NTB, Drs. H. L. Serinata, dalam sebuah kesempatan mengingatkan, kepada semua pihak terhadap berbagai peristiwa atau konflik yang terjadi di dalam daerah. Bahkan, Ketua DPD Golkar NTB ini, mensinyalir ada skenario dari luar yang sengaja ingin memperkeruh keadaan di dalam negara ini. ''Kalau kita melihat perkembangan yang terjadi di negara ini, kayaknya ada pihak luar yang ingin melihat Indonesia terus dalam konflik,'' tuturnya.
Danrem 162 Wira Bhakti Kolonel CZI Soeparto, S., mengharapkan kewaspadaan seluruh komponen masyarakat di daerah ini mengenai bangkitnya kembali bahaya laten komunis. Dari beberapa kejadian yang terjadi di NTB, ungkap pamen melati tiga ini, indikasi bangkitnya paham komunis bisa dilihat dari berbagai gerakan di masyarakat yang sering mengarah pada anarkis. ''Ini yang harus diwaspadai oleh kita semua,'' kata Danrem, seraya mengharapkan peringatan Hari Kesaktian Pancasila diperingati kembali.

Tolak Komunisme
Ketua HMI Cabang Mataram, Wijaya Dewantara dalam aksi bersama puluhan anggota HMI Cabang Mataram ke Kantor DPRD NTB, mengharapkan anggota Dewan menolak keberadaan antek-antek komunis di Indonesia. Sebagai organisasi kemahasiswaan yang pernah akan dibubarkan oleh PKI, ujar Dewantara, HMI menolak secara tegas organisasi yang terindikasi terhadap gerakan komunisme dari lembaga pendidikan di daerah ini. Begitu juga, lembaga perguruan tinggi, baik negeri dan swasta tidak memberikan izin masuk maupun berkembang organisasi yang terindikasi pola-pola komunis.
Wakil Ketua DPRD NTB Muhammad, S.H. didampingi seorang anggota Dewan, H. Ramli H. Yusuf berjanji akan mengakomodir tuntutan dari HMI. Salah satu cara adalah dengan melakukan koordinasi dengan perguruan tinggi di NTB untuk menolak organisasi kemahasiswaan yang terindikasi komunisme. (ham)

http://www.suarantb.com

Pesantren Darunnajah sebagai lembaga pendidikan yang sudah berdiri sejak 19 tahun lalu menyambut hangat program ini.Selain sebagai tambahan wawasan bagi santri tentang komunis juga merupakan benteng dari pengaruh-pengaruh westernisasi yang dapat mengikis aqidah mereka. Kegiatan ini diadakan bekerjasama dengan Koramil Cigudeg.

Tragedi pembantaian umat muslim Indonesia tahun 1965 yang dikenal dengan istilah G.30S/PKI cukup menggoreskan luka yang teramat dalam dan tak terlupakan bagi segenap bangsa Indonesia.Wajar bila gerakan komunis yang tidak mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan bahkan antipati terhadap keberadaan Tuhan harus dibasmi hingga ke akar-akarnya dari muka bumi ini.Tapi apakah komunis di Indonesia benar-benar telah musnah …?

Berangkat dari kekhawatiran ini pemerintah menyelenggarakan sosialisasi dan seminar tentang bahaya laten komunis dan perang mode ke berbagai daerah ataupun lembaga pendidikan.

Pesantren Darunnajah sebagai lembaga pendidikan yang sudah berdiri sejak 19 tahun lalu menyambut hangat program ini.Selain sebagai tambahan wawasan bagi santri tentang komunis juga merupakan benteng dari pengaruh-pengaruh westernisasi yang dapat mengikis aqidah mereka. Kegiatan ini diadakan bekerjasama dengan Koramil Cigudeg.

Kegiatan yang dihadiri oleh seluruh santriwan/ti dan dewan guru ini dilaksanakan pada hari Rabu, 25 April 2007 usai sholat Ashar hingga menjelang Maghrib, bertempat di Auditorium Darunnajah.

Pimpinan Pesantren pada acara tersebut menyampaikan sambutan dan sepenggal kisah perjuangan beliau melawan antek-antek komunis tahun 1965. Danramil Cigudeg, Bpk. Khoerudin, sore itu juga turut memberikan sambutan. Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi sosialisasi perang mode dan bahaya laten komunis oleh tutor: Drs. Ja’far Shodiq, Ketua GARDA DISTRIK, Angkatan Muda Siliwangi (AMS) Bogor. Tampak hadir bersama Pimpinan Pesantren yaitu Bpk. Syaeful Bahri (Babinsa Argapura), Ust. Mustajab Anwar S.Pd.I, Ust. Ahmad Rosichin Wasrap dan Ust. Atijan Yani A.Ma.

Meskipun singkat acara ini berlangsung ‘lebih hidup’. Dari awal hingga akhir acara ini berisikan sosialisasi tentang bahaya mode ala barat dan kekejaman kaum komunis.Seluruh santri terlihat antusias memperhatikan penyampaian tutor. Sesekali mereka histeris saat ditayangkan film dokumenter tentang kebiadaban kaum komunis di Moskow tahun 1925.

Pelajaran berharga dari kegiatan ini adalah kita harus selalu siap dan waspada.Kukuhkan aqidah sebagai benteng ‘gerakan halus’ kaum komunis.(Imam Ghozali).


Ulama Timur Tengah Asyik & Gaul…?

Untuk yang ke sekian kalinya,Darunnajah kembali dikunjungi ulama dari Timur Tengah.Namun ada yang istimewa dari kunjungan kali ini,pasalnya ulama yang bernama lengkap Syeikh Sya’ban Abdul Hamid Sayyid Al Ma’ali ini benar-benar seorang motivator handal.Hal ini jelas terlihat dari gaya bersosialisasi beliau dengan seluruh lapisan warga Darunnajah.Tidak salah rasanya bila ada ungkapan bahwa beliau itu asyik dan gaul.Berikut liputan aneka kegiatan beliau di Darunnajah Cipining.

Ulama Mesir yang bertugas mengajar di Pesantren Darunnajah Jakarta ini datang pada hari Senin,15 Januari 2007 (menjelang Ashar) dengan didampingi dua orang rekannya sesama ustadz/guru di Darunnajah Jakarta.Usai melepas lelah di kediaman Pimpinan Pesantren dan melaksanakan sholat ashar berjama’ah di masjid,Syeikh Sya’ban berorasi di hadapan seluruh santri dan dewan guru.Para santri terkesima dan termotivasi untuk menguasai bahasa arab lebih dalam lagi.

Malam harinya usai sholat Isya’ Syeikh yang telah hafal Al Qur’an sejak umur 9 tahun ini mengadakan dialog interaktif dengan seluruh dewan guru di Gedung Sekretariat Pesantren.Sebelumnya Syeikh Sya’ban berbagi pengalaman beliau kepada para guru.Suasana dialog cukup hidup karena banyak permasalahan keagamaan yang dibahas.Para ustadzah juga tidak mau ketinggalan,mereka menanyakan permasalahan tentang fiqh wanita.Syeikhpun memberikan jawaban secara jelas dan gamblang.Malam itu menjadi lebih bermakna bagi segenap dewan guru Darunnajah Cipining.

Keesokan harinya Selasa siang,16 Januari 2007 Syeikh bertandang ke Kampus II untuk berjumpa dengan siswa-siswi TMI Non Asrama yang telah berkumpul di Masjid Sekolah,menyambut kedatangan beliau sekaligus menunggu waktu sholat Dzuhur.Syeikh Sya’ban menyampaikan tausyiah untuk mereka.Tampak para siswa antusias mendengarkan.

Adzanpun berkumandang,Syeikh mengakhiri tausyiahnya lalu sholat dzuhur berjamaah dengan para siswa.Usai melaksanakan sholat,siswa-siswi SMP mendapat giliran untuk bisa berjumpa dan mendapat ‘hal baru’ dari Syeikh Sya’ban.Merekapun mendengarkan tausyiah dengan seksama.

Malam harinya usai sholat Isya’ Syeikh ‘mampir’ ke masjid asrama putri.Seluruh santri putri tampak belum beranjak dari masjid.Sedikit berbeda dengan pertemuan sebelumnya,kali ini Syeikh tidak hanya menyampaikan tausyiah tapi juga mengadakan dialog interaktif dengan santri putri.Ketika Syeikh memberi kesempatan santri putri untuk bertanya,kontan pertanyaan demi pertanyaan muncul ditujukan kepada beliau meski menggunakan bahasa arab yang masih alakadarnya.Ini menjadi salah satu kesan bagi Syeikh bahwa semangat Tholabul ’ilmi santri Darunnajah patut diacungi jempol.

Pagi harinya Rabu,17 Januari 2007 Syeikh silaturrahmi ke Asrama Tahfidz.Seperti masuk ke lingkungannya sendiri beliau langsung bertindak sebagai musammi’ bagi para huffadz yang ingin menyetorkan hafalannya.Cukup menjadi motivasi bagi mereka untuk lebih meningkatkan kualitas hafalan masing-masing.

Agenda selanjutnya,Syeikh bertandang ke Danau Darunnajah didampingi Ust.Nashrullah Nashrudin yang setia menjadi guide beliau selama tiga hari ini.Dengan mendayung perahu sederhana inventaris Pesantren,beliau betul-betul menikmati nuansa pagi di danau tersebut.Selain refreshing di danau beliau juga menikmati suasana Goa Gudawang yang letaknya sekitar 1 Km dari Darunnajah.Beliau juga melihat-lihat proses pemecahan batu di Gunung Siwaluh yang terletak tak jauh dari Goa Gudawang.

Tiga hari ini menjadi hari-hari indah bagi beliau karena ada kepuasan batin yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.Sebaliknya,dewan guru dan segenap santri mendapatkan ‘sesuatu yang sangat berharga’ dari kehadiran beliau.

Kunjungan Syeikh Sya’ban ini merupakan program silaturrahim ke seluruh Pesantren Darunnajah Group.Usi sholat Dzuhur beliau bertolak ke Pesantren Al Manshur Serang Banten.Selamat jalan Syeikh Sya’ban…(Imam Ghozali)

Laten Komunis Bermunculan
Selasa, 12/02/2008

KEDIRI (SINDO) – Pangdam V/Brawijaya Majyen TNI Bambang Suranto mensinyalir Partai Komunis Indonesia (PKI) bangkit di Jawa Timur.

Pihaknya telah membubarkan sedikitnya dua acara konsolidasi para mantan anggota PKI di Nganjuk dan Tuban selama 2007. Dalam pertemuan dengan tokoh agama dan masyarakat se-wilayah Kodam V/Brawijaya di Markas Kodim 0809 Kediri, Pangdam meminta ulama dan pemerintah daerah untuk mewaspadai bangkitnya gerakan komunis di masyarakat.

Jika dibiarkan, gerakan ini bisa menjadi besar dan mengancam kesatuan bangsa. “Ancaman kebangkitan neokomunis ini tidak retorika. Kami telah membubarkan pertemuan eks-PKI di Nganjuk dan Tuban selama tahun 2007 lalu,”ujar Pangdam, kemarin.

Sayangnya, saat diminta menjelaskan secara rinci dua pertemuan yang dimaksud, Bambang yang sempat dikabarkan akan maju sebagai calon gubernur Jatim ini enggan menjawab. Ia hanya mengatakan, jika pertemuan di Nganjuk dihadiri 15 orang mantan anggota PKI. Menurut informasi yang diterima Pangdam, mereka akan konsolidasi untuk membangun gerakan di Indonesia.

Menurutnya, gerakan komunis ini tidak hanya terjadi di wilayah Jawa Timur.Sejumlah daerah lainnya seperti Jawa Tengah dan sejumlah tempat di luar Jawa juga disinyalir menjadi kawasan yang subur untuk pertumbuhan gerakan laten ini.Karena itu ia meminta kepada Muspika dan tokoh agama untuk mencurigai kelompok- kelompok asing yang melakukan aktivitas di masyarakat. Sebab tidak menutup kemungkinan hal itu adalah bentuk konsolidasi para mantan anggota PKI yang memanfaatkan situasi untuk berkembang.

“Gerakan ini akan bisa berkembang pesat dan diterima masyarakat jika kondisi ekonomi bangsa sangat lemah. Makanya gerakan ini tumbuh di daerah-daerah yang miskin,” ujar Bambang. Untuk mencegah berkembangnya kelompok ini, Pangdam akan giat melakukan pertemuan dengan ulama dan tokoh masyarakat di wilayah Kodam V/Brawijaya.

Selain itu, secara khusus Pangdam telah meminta kepada Kapolda Jatim untuk menyelidiki dan me-metakan setiap kasus kriminal yang terjadi. Sebab tidak menutup kemungkinan kasus- kasus kriminal ini dilakukan oleh kelompok-kelompok komunis yang bertujuan memperkeruh situasi.

Sementara itu peringatan tersebut ditanggapi berbeda oleh para ulama dan kelompok masyarakat yang hadir.Ketua Gerakan Nasional Patriot Indonesia (GNPI) Jawa Timur, Ibrahim membenarkan adanya kemunculan gerakan komunis.

“Kami mendukung sikap Pangdam dan berada di garis depan untuk memberangus gerakan komunis di Indonesia,” tegas Ibrahim. Ketua Pondok Pesantren Assaidiyah Jamsaren KH Anwar Iskandar belum menemukan kemunculan gerakan komunis di masyarakat.

Namun begitu, ia tetap mendukung pengawasan kelompok ini agar tidak meresahkan. “Ancaman yang harus diwaspadai tidak hanya komunis, tapi semua yang berpotensi mengancam keamanan,”ujarnya. (hari tri wasono)

http://www.seputar-indonesia.com

Panglima Kodam Jaya Bantah Menyatakan Anggota Dewan Komunis
12 Juni 2006
Tapi dirinya tidak membantah bahwa saat ini ancaman laten komunis sudah berbahaya.


bukan zaman
membaca pernyataan kodam jaya tentang ancaman komunis,saya pikir saat ini bukan saatnya lagi,mungkin yang lebih berbahaya adalah ancam preman berjubah.mereka bahkan berani menyerang masyarakat bahkan aparat di siang bolong,mereka berani menuntut seseorang harus mengikuti kehendak mereka,menuntut seseorang harus mempunyai gaya hidup yang menurut mereka itu jalan Tuhan.
kalau aparat mau cerdas seharusnya sinyalemen tsb itulah yang harus di ikuti,yang terang2an ada di pelupuk mata,tentang gambar itu dan ini bisa aja di awasi tapi yang amat radikal itu juga harus di ikuti terus,karna tabiat mereka sudah sepertinya mereka itu penguasa negeri ini,dan yang tak bermoral lagi aparat kepolisiannya yang membanggakan tahan kelompok ormas tertentu sudah sekian ratus orang,inilah yang menunjukan bahwa pejabat tsb kurang tanggap dan kurang cakap,walaupun sejuta orang yang di tangkap tapi masalah tidak selesai apa itu berhasil?
walaupun yang di tangkap satu orang tapi masalah berhenti dan kejadian tidak mengulang lagi itu baru namanya berhasil,jangan di lihat quantitasnya tapi qualitasnya pak polisi yang pintar.

ian(ian48899@yahoo.com) - hanoi

Waspadalah...
Sebenarnya yang paling perlu di awasi/waspadai adalah orang2, yang melarang umat beribadah & melarang mendirikan Rumah Ibadah.dengan RUU yang tidak masuk akal.
Kiky(K-y&plasa.com) - Sby

WASPADA SAJA

SINYALEMEN ALFIAN BISA SAJA BENAR, WALAUPUN BISA JUGA SALAH.
SEBENARNYA SIH MASYARAKAT KHAN SUDAH MEMPEROLEH INFORMASI DARI MEDIA MENGENAI SIAPA SAJA YANG MEMILIKI KECENDERUNGAN KESANA, YA NGGAK ? KHAN ADA ANGGOTA DPR DARI PDIP YANG MENULIS BUKU AKU BANGGA MENJADI ANAK PKI? KHAN SUDAH JELAS TUH..??
KARENA SEKARANG SUDAH ZAMAN REFORMASI, SIAPA SAJA TENTU BERHAK UNTUK MEMILIH IDEOLOGI YANG AKAN DIKEMBANGKANNYA, YANG PENTING APARAT KEAMANAN AGAR WAPADA SAJA DAN MELAKUKAN TUGASNYA DENGAN PROFESSIONAL UNTUK MELINDUNGI BANGSA DAN NEGARA.
MERDEKA ...!!

nasionalis(nasionalis@yahoo.com) - jakarta

Alfian Tanjung Tukang Adu Domba
Melihat tayangan dialog di Metro TV Senin malam, saya punya kesan bahwa sdr. Alfian Tanjung sebagai pembohong besar atas pernyataannya tentang DPR yang disusupi anggota komunis. Nampak sekali kebohongannya ketika diminta menunjukkan bukti yang dimiliki yang menjadi dasar ucapanya dia malah melempar ke pihak aparat kepolisian untuk menindak lanjuti, walaupun dia tidak pernah melaporkan hal ini kepada polisi. Ternyata pernyataannya itu hanya didasarkan pada asumsi dan kecurigaan yang tidak masuk akal untuk alam demokrasi saat ini.
Kalau pernyataan sdr. Alfian ini dilontarkan pada masa orde baru, saya yakin ini akan laris manis seperti majalah play boy yang digemari oleh pemuja pornografi dineegri ini.
Saudara Alfian Tanjung rupanya masih mimpi bahwa masyarakat Indonesia masih dianggap dungu seperti masa orde baru dulu.
Mudah ditebak bahwa sdr. Alfian Tanjung hanyalah orang bayaran dari sisa2 rezim orde baru yang ingin berkuasa kembali dengan menghembuskan bahaya latent komunis. Padahal dalam dunia yang serba terbuka saat ini tidak ada yang bisa disembunyikan tentang kejadian disetiap sudut bola dunia ini. Demikian pula dengan kejadian2 yang menimpa negara2 yang dianggap membawa/menerapkan diologi komunis, Seperti China, Rusia, Kuba yang sudah meninggalkan paham komunis tersebut. Apakah para anggota DPR saat ini demikian bodohnya sehingga menghabiskan energy untuk membangkitakan PKI lagi?
Ternyata ketika sdr. Alfian Tanjung diminta menunjukkan bukti2 yang bisa dianggap merupakan gerakan PKI, dia tidak punya apa2. Ingat Alfian PKI sudah musnah dari NKRI 40 tahun yang lalu. Generasi muda Indonesia saat ini sudah tidak mengenal lagi apa dan bagaimana komunis itu melkukan gerakan di negeri ini. Yang mereka kenal saat ini adalah globalisasi yang banyak dikendalikan oleh Amerika Serikat dan sekutunya G8. Anda nggak usah nakut-nakuti generasi muda saat ini, malah diketwain. Seolah anda itu orang yang sedang kesurupan seperti yang menimpa anak2 sekolah akhir2 ini. Kita mesti lebih melihat tantangan hari ini dan kedepan agar tidak semakin tertinggal. Kita gunakan energy kita untuk bersatu tidak hanya berfikir tentang ahntu komunis yang sudah tidak laku lagi.
Melihat latar belakang sdr. Alfian Tanjung ini saya curiga bahwa dia ini merupakan anggota gerakan yang saat ini sedang marak di republik ini, yakni NII, MMI, HTI, FPI dan gerakan2 yang ingin menggantikan Pancasila denga Piagam Jakarta. Tujuan akhirnya adalah mendirikan negara Islam. Dengan melontarkan tuduhan komunis ke pada DPR, dia inginm engalihkan perhatian masyarakat dan pemerintah dari persoalan ekstrimis Islam kepada persoalan ancaman bahaya lantent komunis.
Pkiran sdr. Alfian Tanjung ini sama persis dengan para pengikut Abu Bakar Ba'asyir yang suka menebar teror.
Kenapa TNI AD menelan mentah2 manufer sdr.Alfian Tanjung? Jelas bahwa dengan lontaran bahaya laten komunis mereka akan mendapatkan keuntungan.
Wassalam.

Yudistira(yudistr@hotmail.com) - Semarang

MENGADA ADA UNTK MENAKUTI RAKYAT
Rakyat sekarang sudah tidak sebodoh puluhan tahun yang lalu. Sekarang banyak yang sudah mahir membaca warta berita dari luar negeri yang lebih objektif. Ini termasuk kita yang sekolah di madrasah. Tidak sebuta dan setuli dulu lagi. Mampu melihat dan membedakan kenyataan didunia, tidak hanya apa yang dikatakan pihak2 dengan maksud tidak baik.

Didunia sekarang kita bisa lihat tidak ada "komunis" yang berhasil memakmurkan rakyatnya, dan rakyat dunia tahu ini. Dulu negara2 yang beraliran komunis sudah putar haluan and mengubah makna komunis. Hanya kuba yang masih komunis, tapi kuba pun sekarang berubah untuk memperbaiki kehidupan rakyatnya.

Apakah komunis itu? Yang sudah kita lihat di dunia dan sebagian kita alami: anti demokrasi, menggunakan kekerasan, memaksakan kemauan ke rakyat. anti agama. Nah sekarang kita bisa lihat apa ada pihak/ormas dinegeri ini yang bertindak demikian? Kalau kita hilangkan anti agamanya, banyak sekali. Apakah agama sekarang ini digunakan sebagai kedok?

Kita harus hati2 disini. Mungkin kita ditunggangi pihak yang mau menjadi diktator lagi dengan dalih anti komunis tetek bengek.

Mari kita jaga NKRI dan Pancasila tanpa kekerasan. Cukup dengan mendidik rakyat menjadi lebih pintar sehingga tidak mudah digunakan orang asing.

Pada masa jayanya AD, AL and AU tidak dikasih jatah cukup dan sekarang akibatnya wilayah NKRI dibajak oleh kapal2 dan pesawat terbang asing dan kita hanya bisa melongo aja. Ga bisa berbuat apa2, padahal itu hak dan kewajiban kita supaya harta alam kita tidak dijarah orang2 asing. Galakan TNI tapi harus terbuka/transparan dan personil harus diganti semua dengan yang baru yang benar2 membela NKRI.
wassalam

Kisah Lama ; Gerakan Laten Komunis Merambah Kampus Trisakti

Kronologis Peristiwa Berdarah 22 & 23 September 2006 Di Kampus Trisakti. Jakarta (pbhmi.com), Suasana kelamnya malam menyelimuti jalanan sekitar menteng pada 30 September 1965 dini hari.

Kronologis Peristiwa Berdarah 22 & 23 September 2006 Di Kampus Trisakti

Jakarta (pbhmi.com), Suasana kelamnya malam menyelimuti jalanan sekitar menteng pada 30 September 1965 dini hari. Tiba –tiba kesunyian terpecah akibat munculnya berbagai derap langkah sepatu manusia yang mengeksekusi sejumlah jenderal. Jerit tangis keluarga dan sanak familiy membahana memecah kesunyian malam menyaksikan penculikan dan pembunuhan terhadap keluarganya.
Tapi apa hendak di kata kekejaman telah terjadi, bukan hanya manusia yang menangis bahkan malam sebagai saksi kejadian tersebut tidak mampu berbuat apa-apa selain meneteskan air matanya. Kejam memang, perlakuan yang dilakukan oleh sekelompok komunitas yang terorganisir ini. Mereka melakukan penyayatan menggunakan silet -salah satu ciri khas kelompok ini-. ”Darah itu merah Jenderal” bahasa yang sering di dengar –baik sebagai guyonan maupun lainnya- di masyarakat sebagai wujud perlawanan terhadap kelompok ini. Palu-Arit merupakan simbol kebanggaan kelompok ini, simbol yang selalu dibanggakan karena akan dapat menguasai Negera Republik Indonesia melalui kudeta 30 September 2006. Tapi apa mau dikata Tuhan berkata lain. Tidak mungkin ada dunia tanpa adanya Tuhan dan tidak mungkin orang yang tidak ber-Tuhan menguasai dunia. Itulah yang terjadi pada kelompok tak ber-Tuhan ini, kudeta mereka digagalkan.
Siapa sebenarnya kelompok yang terorganisir ini ?

Seluruh rakyat di Indonesia pasti tahu siapa mereka. Mereka adalah sekelompok komunitas yang menamakan dirinya ”Komunis” dengan lambang kebanggaan ”PALU DAN ARIT”.
Setelah lebih 41 tahun hilang dari peredaran –pada waktu itu ada pernyataan bahwa komunis tidak bisa hidup di Indonesia bahkan sampai sekarang masih ada- akhirnya mereka muncul kembali. Dengan model dan modus yang sama, mereka menyerang kelompok yang sama pula. Dendam lama terbuka kembali.
Akan tetapi perlu diwaspadai apakah ini perbuatan mereka murni atau memang ada sekelompok komunitas yang coba memanfaatkan isu ini untuk kepentingan pribadinya atau ingin menjual bangsa ini.
Masyarakat mungkin bisa menilainya dan pembaca juga bisa menilainya.


Kronologis Kejadian Peristiwa Berdarah di Kampus Trisakti

pada 22 dan 23 Sepetmber 2006
Pernyataan anggota HMI sebagai korban kekejaman
Pada malam itu sekitar pukul 19.00 wib di lingkungan Kampus C Trisakti terdapat dua buah acara dari 2 institusi yang berbeda. Di kantin Kampus C Trisakti terdapat acara silaturrahmi HMI se-Trisakti menjelang bulan suci Ramadhan dengan undangan dari berbagai elemen HMI baik di dalam maupun di luar Trisakti. Sementara itu di luar gedung ATGT(Akademi Teknik Grafika Trisakti) dan sekitar lingkungan gedung kampus ATGT juga terdapat acara MAKRAB 2006 ATGT dengan berbagai undangan dari beberapa alumnus ATGT serta beberapa mahasiswa STMA (Sekolah Tinggi Manajemen Asuransi) Trisakti.

Sekitar pukul 21.00 saya, Fajri, Ardi, Kiki, Arya, Arie, serta Hafidz tiba di kantin kampus C Trisakti guna hadir dalam acara HMI tersebut. Ketika tiba kami pun langsung masuk ke dalam kampus guna menaruh barang-barang bawaan kami di BEM STMA Trisakti. 10 menit kemudian, Roy bermaksud menyusul kami ke ruang BEM tapi realitanya ketika dia berjalan menuju ruang BEM STMA Trisakti, menurut penuturannya diteriaki oleh salah satu Alumnus yang bernama YUDI yang sedang berkumpul bersama juniornya di lobby gedung ATGT dengan meneriakkan HMI ANJING -dan ucapan kotor lainya yang tidak layak diucapkan oleh seorang kaum intelektual (ucapan di edit)-, tetapi tidak dihiraukan oleh Roy. Ketika tiba di ruang BEM STMA, Roy bercerita kejadian itu ke saya dan kawan-kawan HMI yang ada di ruang BEM tersebut. Karena sudah cukup lelah dengan penghinaan tersebut akhirnya kami memberanikan diri untuk menegur YUDI, apakah ada masalah dengan HMI.

Ketika menegur YUDI, YUDI melontarkan kalimat ”HMI HARAM DI KAMPUS C TRISAKTI” ”YANG ADA ADALAH PALU DAN ARIT”. Terjadilah cekcok mulut antara kami dan gerombolan mereka, untungnya tidak terjadi perkelahian. Ketika kami mendatangi gerombolan ATGT, disana terdapat 3 orang mahasisawa STNA Trisakti yang notabenenya adalah aktifis-aktifis kiri yang bernama MITHUN, BODAT, Serta BERSON.
Sekitar pukul 22.00 YUDI ATGT yang menghina instusi HMI tersebut pergi dengan tergesa-gesa keluar dari kampus dengan menggunakan mobil ISUZU PANTHER B 2502 XV. Bersamaan dengan perginya YUSI ATGT, sekitar 50 orang gerombolan ATGT langsung menyerbu HMI yang sedang ada acara Silaturrahmi Ramadhan di kantin Kampus C Trisakti dengan menggunakan beberapa senjata tajam berupa pisau, batu, balok, kayu, serta botol minuman ringan. Ketika insiden ini terjadi terdapat tiga korban dari HMI STMA yang bernama Miftah dengan memar di mata sebelah kiri dengan pelaku yang bernama CIBE dan dia juga menggunakan senjata tajam berupa pisau yang digunakan sebagai senjata. Korban selanjutnya bernama Akhamd Wahyudi dengan luka dalam di bagian kepala belakang bagian kiri dengan pelaku bernama ALMO dan dia menggunakan bangku panjang yang ada di kantin sebagai senjata. Dan yang terakhir korban bernama Achmad Fadjriansyah dengan luka sobek dan memar di paha bagian kiri akibat dihajar juga dengan menggunakan bangku panjang yang ada di kantin kampus C Trisakti.
Setelah berlangsung cukup lama, bentrokkan pun selesai sekitar pukul 22.30 seiring dengan tibanya pasukan Polsek Pulogadung.Sekitar pukul 02.00 dini hari tanggal 23 September 2006 bentrokan kedua pun tak terhindarkan. Hal ini disebabkan ketika HMI STMA ingin kembali ke kampus tepatnya menuju ruang BEM STMA Trisakti tiba-tiba langsung diserang gerombolan ATGT plus masyarakat setempat yang telah diprovokasi dimana mereka menggunakan batu, botol minuman ringan, kayu balok, samurai atau banyak senjata tajam, serta bom molotov. Ketika insiden terjadi, terdapat dua orang korban dari HMI, dan 1 (satu) orang korban dari ATGT. Korban di HMI yaitu Madi Mahasiswa STMT Trisakti dengan luka kepala bocor di sebelah kiri dan Aulia, Mahasiswa FH – UI dengan luka satu sayatan panjang di tangan kiri, 3 (tiga) garis sayatan panjang di punggung, bibir sebelah kanan pecah, serta wajah memar di sebelah kanan dimana pelaku dua orang korban ini adalah dari gerombolan mahasiswa ATGT. Sedangkan korban dari ATGT dengan luka pergelangan tangan yang nyaris putus adalah mahasiswa dari STMT yang juga notabenenya adalah aktifis kiri dimana pelaku korban tersebut adalah masyarakat setempat yang salah sasaran (@red)